Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Pernikahan Lusan, Antara Mitos dan Nalar

Diperbarui: 18 Agustus 2020   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: inovasee.com

Entah untuk berapa kalinya saya diinbox oleh pembaca, baik melalui Instagram, Chat di Kompasiana. Gara-gara cerpen tentang pernikahan lusan. Judul yang saya ambil "Mitos Lusan Tak Terbukti di Pernikahan Kami" dan saya publikasikan pada 22 Maret 2019. Cerpennya bisa dibaca di sini.  Cerpen Mitos Lusan Tak Terbukti di Pernikahan Kami.

Saya sebenarnya tak menyangka bahwa cerpen itu banyak diapresiasi dan viewernya pun lumayan. Jika dibandingkan dengan tulisan atau cerpen yang HL, viewernya lebih banyak yang mitos lusan ini. Padahal cerpen ini bukanlah cerpen pilihan editor.

Tapi sudahlah. Saya merasa surprise dan agak kesulitan juga ketika ada pembaca yang inbox. Mereka pada umumnya pasangan pemuda dan pemudi yang menjalin hubungan serius. Mereka ingin melangkah ke jenjang pernikahan. Namun ketika dihadapkan bahwa mereka berdua, perempuan anak pertama dan si lelaki anak ketiga, atau berkebalikan, mereka akan kesulitan mendapatkan restu dari keluarga.

Saya yakin mereka sangat nyesek atau galau. Satu sisi mereka serius untuk menikah tapi dihadapkan pada mitos bahwa anak pertama (kapisan) tidak boleh menikah dengan anak ketiga (katelu). Orang Jawa mengenalnya sebagai pernikahan lusan (katelu-kapisan) atau jilu (siji-telu).

Dalam mitos Jawa, pernikahan lusan akan membawa kesialan baik hubungan tidak harmonis, perekonomian yang prihatin hingga kematian anggota keluarga. 

Pernikahan lusan ini merupakan pernikahan pantang bagi orang Jawa yang masih berpegang teguh pada kepercayaan lama. Salahkah percaya mitos seperti itu?

Sebenarnya mitos pernikahan pantang tak hanya pernikahan lusan, tetapi ada juga pernikahan pantang antara orang Jawa dan Sunda yang dikaitkan dengan peristiwa Bubat atau pernikahan antar dusun pun berkembang di tempat tinggal saya.

Oke. Kembali ke pernikahan lusan. Ada pertimbangan psikologis yang mengaminkan pernikahan lisan tidak akan langgeng. Apalagi kalau bukan sifat dari anak pertama dan anak ketiga yang beda sekali.

Anak pertama digambarkan sebagai anak yang pengatur, merasa dewasa dan terbiasa menjadi patokan. Sementara anak ketiga sifatnya manja, sulit diatur dan semaunya sendiri. Jika keduanya menikah maka akan ribut dan sial.

Lalu bagaimana jika ternyata ada pasangan kekasih yang kebetulan adalah anak pertama dan ketiga? Mau melanjutkan ke jenjang pernikahan ataukah tidak?

Begini, saya menulis cerpen itu hanya berdasar dari ingatan saya saat akan dinikahi calon suami. Dia adalah anak pertama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline