InsyaAllah esok hari saudara sepupu saya akan dinikahkan. Dengan acara sederhana tentunya. Mengingat kondisi pandemi yang belum memungkinkan untuk mengadakan acara resepsi pernikahan secara normal. Jika nekat melakukan, sudah pasti akan dibubarkan secara paksa.
Meski begitu, keluarga tetap menyiapkan menu untuk menyambut kedatangan mempelai laki-laki dan keluarga. Persiapan tempat, masakan sudah pasti tidak absen dari acara hajatan pernikahan.
Berbicara tentang menu untuk hajatan, pasti akan tersedia lemper. Makanan khas yang berbahan dasar ketan, santan, dan abon sapi, ayam, ikan atau kelapa. Nah khusus untuk abon dari kelapa, di daerah saya sering disebut serundeng.
Kemudian kalau si empunya hajatan mempergunakan isi lemper dari serundeng maka lempernya sering diistilahkan lemper penekan. Kenapa begitu? Ya tal lain dan tak bukan karena serundeng berasal dari kelapa yang harus dipenek atau dipanjat untuk mengambil atau memetiknya.
Untuk membuatnya pun agak ribet. Ketan dicuci sampai bersih dan ditanak dengan santan gurih dan daun salam. Lalu ketan matang dibungkus dengan bungkusan daun pisang. Setelah selesai dibungkus, maka harus dikukus lagi.
Cara membungkusnya pun khas. Tak semua orang yang rewang di tempat hajatan bisa membungkus dengan rapi. Malah bisa-bisa berbentuk memanjang. Orang di sekitar saya menyebut, lempernya kaya pocongan. Hihii.. ada-ada saja.
Ah iya. Jika ada yang belum tahu kenapa setiap ada hajatan pasti ada menu lemper, saya sampaikan makna filosofinya saja ya. Lemper berasal dari ukara atau kalimat "Yen dilem, ojo memper" ---dari idntimes.com--- yang artinya bila disanjung, jangan takabur.
Unik ya. Makanan kenyal berasa gurih ini mengajarkan dan mengingatkan agar siapapun untuk tetap rendah hati, meski disanjung setinggi langit. Mengajarkan agar manusia selalu membumi.
Selain itu, berkaitan dengan hajatan, lemper yang berbahan dasar ketan yang jika matang akan terasa lengket di tangan, ternyata juga dipercaya bisa menjadi perlambang rezeki yang terus melekat.
Jadi si empunya hajat akan selalu mendapatkan rezeki yang terus berdatangan. Atau bisa saja semakin mempererat hubungan kepada sesama tetangga, saudara dan keluarga besan.
Memang di Jawa segala hal bisa bermakna filosofi. Dari angka, pasaran hingga makanan. Meski tak semua orang Jawa mengetahuinya. Akan tetapi saya pribadi berharap dan berusaha untuk mengenalkan makanan tradisional baik dari Jawa maupun daerah lain. Makanan tradisional tiada duanya. Akan selalu ngangeni siapa saja.