Menunggu kehadiranmu kembali di sini, setelah beberapa bulan tak bertemu, rasanya berat. Jika kau menginginkan seorang perempuan yang tahan banting, aku ingin menjadi orang itu.
Namun kenyataannya, aku bukanlah sosok perempuan di mimpimu. Ya meski dahulu kau pernah menginginkan aku menjadi bagian hidupmu. Dan itu benar-benar membuatku melayang dan ingin terlihat sempurna bagi hatimu.
Karenanya aku ingin bertahan, mas. Sungguh. Namun hubungan jarak jauh sungguh menyiksaku. Selalu ada kekhawatiran dalam hatiku. Pikiran pesimis selalu menghantuiku.
Dan benar, pikiran dan prasangka pesimisku menjadi doa bagiku. Aku seolah lupa bahwa prasangka Allah itu sesuai prasangka seorang hamba.
Seharusnya dari dulu aku ingat akan hal itu. Namun hatiku memang lemah. Tanpa alasan aku meneteskan air mata ketika memikirkanmu. Merindumu sekaligus nelangsa karena berjauhan denganmu.
Pada akhirnya air mata tak kering meski kumenangisi perpisahan denganmu. Penyesalan tak ada gunanya. Aku ingin belajar melupakanmu, seperti aku belajar mencintaimu dahulu.
Aku tak tahu sampai kapan mematrikanmu dalam hatiku. Harapku jika kau temukan perempuan hebatmu itu, tak kau sia-siakan dia.
Saat ini aku ingin melepasmu sebagai orang baik di hatiku seperti saat pertama kali mengenalmu. Biarlah waktu yang membantuku untuk melupakan sedihku karena kehilanganmu di penghujung musim hujan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H