Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Berkuliner di Warung Laras 67 yang Bernuansa Ndesa

Diperbarui: 17 Desember 2019   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Warung Laras 67 pada sisi selatan. Dokpri/ Zahrotul Mujahidah

Sebagai perempuan yang sudah berkeluarga sekaligus bekerja di luar rumah, urusan masak memasak tak bisa saya lakoni setiap hari. Terutama urusan lauk pauk. Kalau sekadar nasi, pasti setiap hari ada. Itupun tak perlu menanak nasi dan mengukus secara manual. Cukup mengandalkan rice cooker.

Urusan lauk, yang agak repot itu ketika harus menyediakan untuk anak- anak. Kalau bapaknya anak- anak atau saya, kalau kepepet dan keburu lapar, maka cukup membuat sambal bawang. Lalapnya pete, kalau pas musim. Atau merebus daun pepaya, bayam lalu dipecel. Rasanya nikmat tiada tara.

Namun terkadang malas juga menyiapkan menu makan. Apalagi kalau anak sakit atau baru sibuk koreksi PTS, PAS dan mengolah nilai. Saya lebih memilih membeli matengan saja lauknya.

Salah satu warung makan langganan saya adalah warung makan Laras 67. Lokasi berada di Jl. Karangmojo- Semin km 1 Gedangan Karangmojo. Dari rumah saya, jaraknya hanya 3 kilometeran.

Kenapa saya senang masakan di sana? Yang jelas orang menyukai sebuah warung makan, restoran, lesehan dan sebagainya karena memang rasa masakannya enak. Itu yang utama. 

Jika di sekitarnya ada masakan sejenis, tetapi rasanya kurang maknyus, maka pasti akan sepi. Warung makan Edy Laras ini pada dinding sebelah selatan dan barat didesain seperti gedhek. Sangat klasik. Sangat wajar, mengingat pemiliknya juga seorang pemilik Campur Sari, kelompok musik tradisional yang bergenre modern tetapi berbahasa Jawa lagu- lagunya.

Kembali ke masakan khas dari warung makan ini, menu yang disajikan adalah menu masakan ala wong ndesa. Ada gudheg godhong kates (gudheg daun pepaya), gudheg gori (gudheg nangka muda), jangan lombok, srundeng (abon parutan kelapa), brongkos kering, telur, oseng- oseng, tahu dan tempe bacem, ayam baceman, dan sebagainya.

Beberapa menu di Laras 67. Dokpri

Dokpri

Menu- menu makanan, terutama gudheg godhong kates, gudheg gori, telur, brongkos kering dan srundeng diwadahi panci yang kemudian dimasukkan dalam panci tanah liat. Panci tanah liat itu, tutupnya juga terbuat dari tanah liat.

Gudheg gori (nangka muda)

Gudheg godhong kates (daun pepaya). Dokpri

Jangan lombok. Dokpri

Jangan lombok dan brongkos kering. Dokpri

Telur. Dokpri

Srundeng (abon parutan kelapa). Dokpri

Panci- panci tanah liat itu membuat seperti berada di desa. Pertama kali saya ke warung makan ini merasa bahwa wadah seperti itu sangat unik. Meski sebenarnya semasa kecil saya tak begitu asing dengan panci- panci dari tanah liat seperti itu. 

Saya seperti diingatkan kembali ke masa kecil saya ketika ibu memasak sayur tempe pedas atau nggudheg (memasak gudheg) memggunakan panci tanah liat. Kadang kalau panci tanah liat sudah bocor, panci itu dupergunakan untuk menggoreng kacang tanah beserta kulit tanpa minyak. Akan tetapi menggunakan pasir bersih ---pasir dicuci dulu--- kemudian diletakkan di atas tungku yang apinya tak terlalu besar. Istilah menggoreng kacang tanah seperti itu dinamakan nggoreng kreweng.

Selain menu khas wong ndesa tersebut, warung makan ini juga menyediakan soto ayam kampung. Rasanya juga enak. Mantap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline