Bulan November, mulai tanggal 11 kemarin, dilaksanakan pendaftaran CPNS di berbagai daerah dengan jumlah formasi yang beragam. Tentu saja pendaftaran CPNS disambut gembira para sarjana. Berharap mereka bisa menjadi pegawai di lingkungan pemerintah. Apalagi sekian tahun nyaris tak ada penerimaan CPNS karena kebijakan moratorium. Meski sebenarnya di sekolah tetap kekurangan guru dan guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta telah ditarik dan ditugaskan di sekolah- sekolah negeri. Nyatanya, sekolah negeri tetap membutuhkan bantuan guru non PNS.
Bolehkah Saya Nyesek?
Berkaitan dengan paparan saya, rasanya sekarang ini saya cukup prihatin dan nyesek. Bukan karena saya tak bisa ikut serta dalam pendaftaran CPNS dalam seleksi dua tahun terakhir. Saya tak mau memupuk kekecewaan pribadi saya. Biarlah nasib saya tetap menjadi GTY. Jangan berpikir kalau GTY semua sejahtera. Menjadi GTY di daerah pedesaan pastilah beda dengan GTY di perkotaan, apalagi yang namanya besar. Saya harus bersyukur karena sejak 2014 saya telah memiliki sertifikat pendidik.
Lalu mengapa saya nyesek?
Saya tahu persis bahwa sekolah- sekolah baik negeri maupun swasta sangat kekurangan guru selama hampir lima tahun. Meski pada akhir 2018 pemerintah melaksanakan penerimaan CPNS, diikuti tahun ini.
Akibat kekurangan guru, sekolah- sekolah terpaksa mencari guru non PNS --- guru honorer---. Mereka bertugas sama persis dengan guru PNS. Malah pekerjaannya ditambahi dengan tugas lain seperti mengelola BOS. Mengenai gaji ---sebut honor--- sangat tergantung dengan sekolah.
Sekolah- sekolah akhirnya bergantung pada keberadaan guru non PNS --- guru honorer---. Dalam perkembangannya karena kesejahteraan tak diperhatikan, para guru honorer melakukan aksi demonstrasi. Didengarkah keluhan mereka?
Saya pribadi masih menunggu kebijakan dari pemerintah, akan menghargai pahlawan tanpa tanda jasa ini ataukah tidak. Atau mungkin para guru honorer masih harus menghadapi penghakiman "salahmu sendiri, sudah tahu menyalahi aturan, mengapa tetap mau jadi GTT? Mengapa tak berwiraswasta?
Ada benarnya juga sebenarnya. Namun kita balik saja, bila selama kebijakan moratorium dilaksanakan, sekolah morat- marit ataukah tidak jika tak dibantu guru honorer itu? Apalagi setiap 5 tahun sekali sekolah harus divisitasi akreditasi. Kalau tak dibantu guru honorer, bagaimana kelangsungan sekolah?
Perjuangan berat mereka, setelah demonstrasi, di daerah saya akhirnya diseleksi menjadi Guru Pengganti dengan gaji Rp 700 ribuan. Namun status ini layaknya pegawai kontrak. Jika sekolah yang bersangkutan telah dijatah guru PNS maka yang bersangkutan bisa dicabut sebagai guru. Akhirnya melebihi layangan yang putus dari benang nasibnya.
Sekarang bertambah lagi keprihatinan atas nasib para honorer. Mereka memang bisa mendaftar dalam program PPG yang biayanya cukup mahal dan prosesnya lama, tetapi mereka terancam akan didepak dari sekolah tempatnya bekerja selama ini.