Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Cerpen | Surau

Diperbarui: 20 Agustus 2019   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict: griyasanghipnotis.com

Entah berapa lama aku tak ke surau kampung halamanku. Sejak aku SD dan harus mengikuti orang tuaku yang merantau demi memperbaiki nasib perekonomian keluarga.

Berada di surau kampung kembali, mengingatkanku lagi akan kenangan masa kecilku dulu. Aku bersama teman- teman kecilku bermain dan mengaji di surau menjelang Maghrib dan bakda Maghrib.

Sungguh kenangan itu membuatku rindu suasana dan kehangatan orang- orang kampung. Namun kini ternyata kehangatan khas orang kampung sudah sulit kulihat.

Ketika di jalan menuju kampung halamanku ini, tak seorangpun yang tersenyum ramah, menyapa orang yang baru datang, dan suasana lengang.

Begitu juga surau kampung. Sekalipun menjelang Maghrib, surau terasa sepi. Entah di mana anak- anak kampung. Atau mungkin sudah tak ada anak- anak lagi karena alasan ikut orang tua merantau sepertiku dulu.

Ketika waktu masuk Maghrib, barulah seorang lelaki sepuh datang ke surau. Wajahnya tak begitu asing bagiku. Namun bagi beliau mungkin wajahkulah yang asing. Maklumlah, ketika aku di kampung hanya sampai berusia enam tahun. Dulu aku masih imut- imut. Ketika ke surau hanya menenteng sarung. Sandalpun tak punya. Bertelanjang kaki tak menghalangiku untuk rajin le surau.

Pak Wardani. Lelaki sepuh itu menuju ke tempat wudlu. Sudah berkran ala masjid kota. Tak lagi ada padasan ---tempat penampungan air wudhu yang biasanya berbahan dasar tanah liat dan dilubangi untuk memancarkan air wudhu---.

Dari padasan itu terkadang aku dan teman- teman kecilku minum air. Air padasan terasa dingin seperti air es kalau zaman sekarang. Cless di tenggorokan. Apalagi kalau meminumnya ketika siang hari. Segar sekali.

Akibatnya aku dan teman- teman menghabiskan air padasan. Oleh Pak Wardani kami sering dihukum. Saking hafalnya dengan kelakuan kami. Jika kami mengelak, pasti akan dilaporkan ke bapak kami. Mau tak mau kami menerima hukuman itu.

Menimba air dari sumur dengan kedalaman yang lumayan, 15 meteran, secara manual. Pertama kali menimba pastinya tangan- tangan kecil kami melecet. Tapi demi tak ingin dilaporkan ke bapak, kami lakukan saja. 

Lama kelamaan kami terbiasa menimba. Bahkan tanpa diminta Pak Wardani pun kami membantu menimba air. Dengan riang gembira.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline