Setelah mampir makan, dalam perjalanan mengantar pulang Sherly, barulah si cantik itu bicara padaku. Pada dasarnya dia tak suka kalau aku terlalu memujinya. Sungguh, dia adalah perempuan unik. Di saat perempuan lain senang dipuji setinggi langit, tak begitu dengan Sherly.
"Tak usah memuji berlebihan. Siapa tahu nanti ada sesuatu dariku yang akhirnya membuatmu benci. Tapi mas juga jangan terlalu benci aku..."
Sherly tak melanjutkan ucapannya. Aku masih menunggu lanjutannya. Tapi tak keluar juga dari bibir indahnya.
"Kenapa, Sher? Kalau aku terlalu benci, emangnya kenapa...?"
Sherly masih terdiam. Mungkin dia sengaja tak mau menjelaskan padaku. Ah...kugoda saja Sherly. Di saat pembicaraan serius kan tak ada salahnya kalau diselingi candaan.
"Di balik rasa benci itu ada sengit kan, Sher? Seneng Selangit..."
Aku tertawa. Merah pipi Sherly karena ucapanku tadi. Ah...tanpa blush on pun pipinya sudah merah. Mungkin aku bisa panggil dia dengan sebutan si pipi merah. Humaira, dalam bahasa Arabnya.
Sherly protes berat. Soalnya Humaira itu nama tetangganya, yang dari cerita Sherly sih orangnya cantik.
"Kamu cemburu ya...?"
"Bukan! Cuma nggak suka saja..."