Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Cerpen | Menghilang

Diperbarui: 3 Juli 2019   07:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

zahrotulmutoharoh/doc

Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu memikirkan rekan kerja baru di kantor. Sosok laki-laki, perjaka, namun sering memberikan perhatian kepadaku. Perhatian- perhatian itu mau tak mau meluluhlantakkan dinding pertahanan hatiku. 

Tak dipedulikannya aku yang telah memiliki putri, buah hati dari pernikahan yang kandas karena perbedaan status dan restu yang tak diberikan. Baginya, perempuan sepertiku patut mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang benar-benar tulus dan mau memperjuangkanku. 

Laki-laki itu berusaha mendekati Husna, putriku. Sebagai anak yang terus memimpikan ibu dan ayahnya bersatu lagi, tentu dia sangat tak menyukai. Protes demi protes dilontarkan. Menangis, marah, ngambek sudah dia tunjukkan. 

Aku yang mulai terbuai dengan kata-kata rekan kerjaku, dengan sabar memberikan pengertian kepada Husna. Tak ada hasilnya. Bahkan saat ini aku kehilangan Husna. Putri cantikku itu menghilang. 

Sampai malam hari ini dia tak tiba di rumah setelah bermain ke rumah temannya. Biasanya dia langsung pulang. Ketika azan Maghrib berkumandang dia sudah bersiap ke masjid. Nyatanya saat ini, pukul 20.37, dia tak kunjung tiba di rumah. 

Aku menduga dia ke rumah ayah dan ibu barunya. Beberapa hari dia minta diantar ke sana. Dia kangen ayahnya. Memang ayahnya lama tak mengunjunginya di rumah. Mungkin karena kesibukannya. Aku sendiri tak mempedulikan alasannya. 

Barulah aku mulai risau ketika waktu Isya, Husna belum tiba juga. Aku mencoba berpikir positif, mungkin dia mau menginap di rumah ayahnya. 

Namun ketika suara HP Husna berbunyi, barulah aku tersadar bahwa dia tak berada di rumah ayahnya. Berawal dari ayahnya yang menelepon setelah Isya. Semula aku tak mau mengangkat telepon dari ayahnya. Karena berbunyi terus, terpaksa aku menerima telepon itu. 

Ayahnya menanyakan kenapa Husna belum aku antar. Aku balik bertanya, apa ayahnya tak menjemput putriku di rumah temannya. Meledaklah kemarahan ayah Husna. Aku dibilang tak bisa mengurusi anak, hanya memikirkan diri sendiri,  dan masih banyak lagi ucapan yang menyudutkanku. 

Sungguh aku tak pernah dimarahi olehnya. Aku yang shock dengan perginya Husna yang ternyata tak bersama ayahnya, mendapatkan perkataan buruk juga. Kuhubungi orangtua teman Husna, mereka bilang kalau Husna sudah pulang pukul 17an. 

Mungkin yang dikatakan ayah Husna ada benarnya. Aku egois, tak peduli perasaan Husna. Namun aku juga merasa ayahnya egois juga. Buktinya dia meninggalkanku seorang diri, tanpa menanyakan keadaanku, demi orangtuanya. Dia tak tahu bahwa dia telah menghancurkan aku dan anakku. Ya... perpisahan dengan suami tanpa surat cerai. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline