Menjalani hidup bersama Husna, putriku, setelah enam tahun lebih dipisahkan, sungguh membuatku bahagia, haru. Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaanku.
Dengan keterbatasan ekonomi, aku mencurahkan kasih sayangku untuk Husna. Kasih sayang yang tak pernah kuberikan kepadanya. Nikmat dariNya sungguh harus kusyukuri. Tak ada dusta dariNya selama umat berharap padaNya.
Meski hidup bersamaku, aku tetap memberi kesempatan pada ayah Husna untuk menemui atau mengajaknya ke rumahnya, belanja atau berwisata. Aku tak ingin putriku itu haus kasih sayang ayahnya.
Orangtua boleh berpisah, namun haknya sebagai seorang anak harus kupenuhi. Aku tahu Husna sangat menikmati kasih sayang ayah ibunya meski keduanya berpisah.
Namun ketika Husna dijemput maupun diantar pulang, aku tak mau menemui ayah Husna. Bahkan nomor kontaknya pun sudah kublokir. Sementara untuk berkomunikasi dengan ayahnya, Husna dibelikan handphone sendiri oleh ayahnya.
*
Tak seperti biasa, sampai pukul 22.12 Husna belum diantar ke rumah. Aku merasa khawatir. Ya.. Seperti biasa, setiap hari Sabtu dia dijemput ayahnya. Mereka menghabiskan waktu bersama sampai malam tiba. Namun sungguh, kali ini Husna belum juga tiba di rumah.
Malam semakin merambat. Mendekati dini hari. Hatiku semakin kacau.
Kutelepon Husna, tak ada respon. Telepon ayahnya juga tak mungkin. Ah... Husna, kenapa kamu tak memberi kabar pada ibu, nak?
Aku menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya aku tertidur.
*