Seluruh warga negara yang telah terdaftar sebagai pemilih dalam hajat pesta demokrasi 2019 akan melakukan pencoblosan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Namun, ternyata menjelang hari pencoblosan esok hari masih menyisakan berita tentang politik uang. Saya sendiri agak kaget juga. Ternyata amplop masih dibagi-bagi jelang pencoblosan.
Saya tak perlu menyebutkan siapa dan dari pihak mana yang membagikan amplop sebagai mahar untuk pencoblosan esok hari. Yang jelas politik seperti ini cukup memprihatinkan.
Suara rakyat hanya dihargai 30 ribu sampai 200ribu. Ada juga yang bercerita telah mendapatkan amplop plus jilbab. Jadi si penerima merasa berdosa jika tak mencoblos pihak pemberi.
Saya sampai njembleng. Masa depan negara hanya dihargai uang. Seolah tak memiliki harga diri sehingga mereka tutup mata akan kelangsungan negara kelak.
Rakyat kurang menyadari bahwa politik uang yang sering dipraktekkan oleh beberapa oknum peserta pemilu menandakan bahwa orientasi peserta pemilu ---caleg dan capres cawapres---bukanlah ideologi. Mereka hanya mencari jabatan semata.
Akibat buruknya jika akhirnya mereka terpilih maka ketika dia sudah menjabat sebagai anggota legislatif maupun anggota eksekutif akan membuka peluang untuk korupsi bagi diri sendiri maupun kelompoknya. Hal itu dinyatakan oleh Prof. Koentjoro dalam berita KR hari ini.
Lalu bagaimana cara memerangi politik uang? Prof Koentjoro menyatakan bahwa jalan untuk mencegah politik uang maka harus diawali dari diri sendiri serta keluarga. Jangan sampai kita menerima uang suap tersebut.
Tanggungjawab untuk memberantas politik uang tak boleh hanya mengandalkan Bawaslu atau kepolisian. Dari beberapa organisasi seperti Muhammadiyah juga sudah memberikan maklumat berkaitan dengan pemilu, termasuk dalam menyikapi politik uang. Pemuka agama juga jauh-jauh hari mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak menerima amplop dari para peserta pemilu. Si pemberi dan penerima uang tersebut hukumnya haram.
Namun karena keragaman dalam masyarakat, kadangkala amplop itu diterima. Entah di bilik suara nanti akan mencoblos si pemberi amplop atau tidak. Atau mungkin akhirnya tak datang ke TPS alias golput.
Pendidikan politik, terutama dalam berdemokrasi masih memprihatinkan. Masyarakat perlu mendapatkan edukasi yang berimbang dalam beragam pemberitaan di sosmed dan televisi. Sehingga masyarakat yang tidak melek informasi tak ambil pusing untuk mengambil amplop serangan fajar.
Semoga meski dengan pemberitaan yang simpang siur karena ada perbedaan pandangan --secara umum dua kubu-- nurani rakyat tak terbeli dan tak terjajah oleh iming-iming uang.