Besok pagi adalah hari Imlek. Meski tak memiliki sahabat beretnis Tionghoa sejak sekolah maupun kuliah, namun saya melihat kemeriahan jelang hari Imlek itu.
Paling tidak ketika akan ada perayaan Imlek akan tersedia kue khasnya, kue keranjang. Komunitas etnis Tionghoa di sekitar kecamatan kami tak begitu banyak tetapi kue itu dijual di minimarket setempat.
Dengan cita rasa khas mewarnai hari-hari di sekitar perayaan Imlek. Yang tak kalah unik bagi saya yang mengaitkan hujan dan Imlek setiap tahunnya.
Jika diperhatikan Perayaan Imlek selalu diidentikkan dengan turunnya hujan. Berkembang mitos bahwa hujan sebagai berkah saat Imlek.
Namun setelah saya membaca beberapa referensi, ternyata hujan yang mendatangkan rejeki adalah hujan yang sifatnya hujan ringan bukan hujan lebat. Hujan rintik-rintiklah yang dipercaya membawa rejeki yang baik.
Saya jadi ingat dalam ajaran agama saya ketika terjadi hujan maka kami berdoa agar dilimpahi hujan yang bermanfaat. Hujan bermanfaat bagi kami bukan yang merusak alam. Apabila hujan deras apalagi disertai angin maka bisa menyebabkan pohon bertumbangan, banjir atau longsor.
Namun kenyataannya ada juga masyarakat Tionghoa yang kurang percaya pada mitos hujan. Mereka berpendapat bahwa turun dan tidaknya hujan di Tahun Baru Imlek tidak identik dengan keberuntungan, karena kebetulan Tahun Baru Imlek memang tanggalnya bertepatan dengan musim hujan.
Keberuntungan bisa dicapai bukan karena hujan tapi karena usaha dan doa yang maksimal kepada Sang Pencipta. Etos kerja yang tinggi dan maksimal yang akan menjadikan hoki bagi manusia, bukan hanya orang Tionghoa tetapi seluruh manusia di bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H