Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Satria

Diperbarui: 22 Januari 2019   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict: news.okezone.com

"Wis to, ndhuk. Tenangna pikiranmu. Wis lumrah yen bojomu menek SUTET...", (sudahlah, ndhuk. Tenangkan pikiranmu. Sudah lumrah kalau suamimu memanjat SUTET), Ibu mertuaku mencoba menenangkan aku. 

Aku merasa heran dengan ibu mertua yang begitu tenang ketika anaknya berpamitan untuk memperbaiki SUTET. Aku mendengar kata SUTET saja sudah stress minta ampun.

Aku mau memprotes nasehat ibu mertuaku, tapi aku tahan. Mulutku mengatup kuat untuk tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Iki mendhingan, ndhuk. Ora pas musim rendheng. Yen musim rendheng luwih akeh bahayane. Kowe akeh ndedonga ya, ndhuk. Muga-muga bojomu tansah slamet. Aja dikira ibu ra kuatir. Ibu ya kuatir...", (ini mendingan, ndhuk. Tidak musim hujan. Kalau musim hujan lebih banyak bahayanya. Kamu banyak berdoa ya, nduk. Semoga suamimu selalu selamat. Jangan dikira ibu nggak khawatir. Ibu khawatir juga...), Ku lihat mata ibu mertuaku berkaca-kaca, suaranya bergetar.

"Kowe kudu siap yen bojomu nindakke tugase. Kuwi wis pilihane bojomu...", (kamu harus siap kalau suamimu melaksanakan tugasnya. Itu sudah pilihan suamimu...), Aku hanya mengangguk perlahan.

"Wis ndang shalat, njur istirahat. Kesehatanmu kudu dijaga. Yen kowe lara, malah dadi pikirane bojomu...", (sudah,  kamu segera shalat,  terus istirahat. Kesehatanmu harus dijaga. Kalau kamu sakit bisa jadi nambah pikiran suamimu). 

Ibu mertuaku segera menuju kamar untuk beristirahat. Ya...malam ini sudah menunjukkan pukul 22.12. Pasti beliau sayah. Capek. 

Beliau adalah ibu yang hebat. Mampu membesarkan dua puteranya sendirian. Suaminya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, sebelum aku mengenal Satria, suamiku.


***


Di kamar, aku membaca Alquran untuk menenangkan hatiku. Ya..aku belum lama menikah. Baru dua bulan. Itupun prosesnya tak begitu lama.

Satria adalah saudara sepupu Indri, temanku. Indri sering kali ingin mengenalkanku dengannya. Tapi tak kutanggapi. Aku berpikir pasti sangat berat menjadi bagian hidup Satria, yang bekerja di PLN. Bisa saja dia mendapat tugas memperbaiki jaringan listrik SUTET. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline