Salikah tersenyum manis melihat foto terpampang di baliho berisikan calon wakil rakyat dari sebuah partai politik. Ya... laki-laki yang pernah menyatakan diri mencintai Salikah dan anak-anaknya.
Meski hati terkadang ingin merasakan sentuhan belahan jiwa di kala sedih, ingin berkeluh kesah dan berbagi kebahagiaan bersama sosok pengganti suami yang telah mengamanahi buah hati yang shalih. Keraguan selalu menghinggapi hati Salikah.
Di sepertiga malam, di atas sajadah usang mas kawin mendiang suami ketika menikahinya dulu, Salikah mengadukan hajatnya untuk menerima atau tidaknya laki-laki itu. Dengan mukena kenangan dari suaminya menjadi saksi bagaimana Salikah menentukan hajatnya. Di kala kegelisahan melanda, ayat- ayat suci menjadi penentram hati.
Tak ada keraguan atas pilihannya nanti. Wajah buah hati yang akan selalu menenteramkan hatinya dan masa depannya yang gemilang membuat hatinya menghalau jauh keinginan dan hatinya yang kadang sunyi, sepi dan dingin.
"Yakinlah aku bisa membahagiakan kalian ", dia kembali meyakinkan Salikah agar bisa menerima dirinya sebagai bagian hidup Salikah.
"Keputusanku sudah tak bisa diubah. Maafkan aku", ucap Salikah menegaskan lagi keputusannya.
"Aku bisa mengangkat derajat keluargamu. Aku akan jadi anggota legislatif. Pasti aku bisa membahagiakanmu dan anak-anakmu".
"Oh ya? Semoga hajatmu menjadi wakil rakyat dimudahkan, dilancarkan dan nantinya amanah. Kukira itu lebih utama dan menjadikan derajatmu lebih mulia".
Laki-laki di hadapan Salikah hanya diam mendengar suara indah Salikah yang kukuh pada pendiriannya.
"Kalau boleh tahu, kenapa kau tak memberiku kesempatan membahagiakanmu?"
Salikah tak mau menjelaskan. Sejak awal menerima sang suami dulu, dia dan suami bertekad ingin membangun istana surga bersama. Dari penuturan ustadz bila ingin hidup bersama dengan suami di surgaNya maka menikah hanya dengannya. Tak lupa membaktikan diri untuk sang suami dan amanah. Ya... jadi istri shalihah bagi suami dan ibu yang shalihah untuk buah hati. Itu jembatan untuk hidup bersama di surga.