Lihat ke Halaman Asli

Paspor Bahasa

Diperbarui: 24 Agustus 2015   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkan Anda di deportasi dari suatu negera akibat tidak dapat menunjukkan izin untuk masuk dan tinggal di sebuah negara? Barangkali di antara kita mungkin akan mengatakan “ya” dan mungkin juga akan mengatakan “tidak”. Tergantung pada seberapa sering kita melakukan perjalanan ke luar negeri. Berbicara “perjalanan” tentu sangat mengasyikkan bagi kita bila di dalam pikiran kita sudah tergambar tempat-tempat wisata yangn begitu indah dan memukau. Apalagi di tempat wisata tersebut disuguhkan segudang kuliner dan cinderamata yang apik. Namun, kita tidak boleh terlalu senang terlebih dahulu sebelum mempersiapkan visa dan paspor sebagai jaminan bahwa kita diizinkan dan boleh tinggal atau menetap di sebuah negara yang kita tuju.


Jika visa dan paspor adalah sesuatu yang penting bagi perizinan perjalanan, lantas bagaimana dengan perizinan berbahasa kita. Apakah kita sudah memiliki visa dan paspor dalam berbahasa. Terlalu ektrem memang, tetapi mungkin juga harus demikian mengingat terlalu mudahnya kita berbahasa. Bahkan karena terlalu mudah itu, kita sering melupakan unsur-unsur yang ada pada diri bahasa itu.


Satu kali terpikir mengenai kondisi bahasa di Tanah Air Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Mengingat perjalanan panjang bahasa Indonesia yang sudah mampu menjawab tantangan sejarah hingga kini, kita tentu mengapresiasi imunitas bahasa Indonesia dari gejolak bahasa yang saling bersikutan. Tidak terlalu skeptis bila saya mengatakan bahwa suatu saat nanti bahasa kita akan ditelan oleh bahasa lain dan tidak terlalu optimis pula bahwa bahasa Indonesia bisa berada pada tangga bahasa teratas. Hanya waktulah yang dapat menjawabnya secara pasti.


Banyak memang ahli bahasa atau sederhananya para pemerhati bahasa yang mengmukakan hasil temuannya terhadap bahasa Indonesia. Simpulan dari beberapa temuan itu menjelaskan eksistensi bahasa Indonesia yang semakin terpinggirkan dari tahtahnya. Ada dua hal yang menjadi perhatian saya dari simpulan itu yaitu (1) bahasa Indonesia dianggap kaku dan (2) bahasa Indonesia inferior daripada bahasa asing. Jika merujuk pada kata kaku, kata itu berarti dimengerti menjadi sebuah kecanggungan bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia dianggap tidak mampu mengakomodasi setiap pikiran penuturnya. Memang kita harus mengakui bahwa bahasa Indonesia itu harusnya fleksibel atau luwes sehingga digemari oleh penggunanya. Akan tetapi, justru kekakuan yang dimaksudkan harusnya bermakna positif yang mungkin kita artikan menjadi kekuatan bahasa Indonesia itu sendiri sehingga fakta makna negatif itu tidak akan selalu membayang-bayangi perjalanan bahasa Indonesia. Banyak faktor yang memang menyebabkan adanya stigma kekakuan bahasa Indonesia. Namun, jika kita boleh jujur, akar masalahnya itu adalah ada pada penutur bahasa Indonesia. Kitalah yang dimaksud sebagai akar kekakuan itu. Kita sendiri yang mengakui bahasa kita yang kaku. Atas dasar itulah stigma kekakuan itu semakin melekat bagi penuturnya dan benar-benar kata itu membingkai kekakuan bahasa Indonesia di dalam pikiran dan hati kita.


Coba kita pikirkan apa alasan yang sebenarnya menancapkan dalam benak kita bahasa Indonesia kaku? Kata-kata mana yang ada dalam bahasa Indonesia benar-benar kaku? Coba kita daftarkan seberapa banyak tabel yang Anda buat untuk menunjukkan bahwa bahasa Indonesia kaku. Bukankah bahasa itu bersifat dinamis? Bukankah juga bahasa Indonesia bersifat dinamis/fleksibel? Kembali lagi pada atas dasar “pengakuan” kita bahwa bahasa Indonesia kaku.


Selain kekakuan bahasa Indonesia, simpulan berikutnya tentang bahasa Indonesia ialah inferioritas bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Kita memang harus mengakui juga bahwa bahasa Indonesia tidak boleh mengisolasi dirinya dari bahasa-bahasa lainnya. Hal itu terbukti bahwa banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang bertambah akibat proses adopsi, adaptasi, kreasi, dan terjemahan bahasa asing. Akan tetapi, bukan berarti dengan terbuka terhadap bahasa asing, bahasa Indonesia menjadi kehilangan jati dirinya sebagai salah satu bahasa. Ironinya yang terjadi hari ini ialah lagi-lagi pengakuan kita akan keagungan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Persoalannya sekarang mengapa kita tidak menempatkan posisi bahasa Indonesia lebih tinggi daripada bahasa lainnya. Superioritas bahasa asing terhadap bahasa Indonesia adalah bentuk kesalahan yang fatal karena hal itu seperti kepasrahan atau pengakuan kita terhadap bahasa asing yang terlalu hebat. Padahal sesungguhnya perbuatan itu salah besar.


Coba kita mengaitkannya dengan fakta-fakta penggunaan bahasa asing di negara kita. Misalnya, bahasa Inggris yang seolah memosisikan dirinya paling tinggi. Mengapa hal itu terjadi? Alasannya karena kita yang memberi peluang itu. Coba kita mengingat dan merenung sejenak! Lihat di sekeliling kita yang memberikan fakta bahwa penutur bahasa asing lebih dihormati di Indonesia daripada penutur aslinya. Jika orang Eropa yang berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris, kita akan bersiap-siap untuk menunjuk translator kita untuk menerjemahkan bahasa itu ke dalam bahasa Inggris. Namun, kita sangat jarang menemukan translator asing yang menerjemahkan bahasa Indonesia kepada bahasa mereka.


Kembali lagi pada persoalan paspor bahasa di atas. Kita tentunya harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengomunikasikan bahasa asing jika ingin berkunjung, menetap, bekerja, atau belajar di negeri orang. Persoalan bahasa adalah syarat mutlak. Agaknya berbeda dengan yang ada di Indonesia, kita malah sebaliknya lebih “kaku” pendiriannya bahwa bahasa asing itu lebih dihormati daripada bahasa Indonesia. Sampai-sampai pemerintah kini sedang melakukan proses penghapusan persyaratan aturan pekerja asing wajib mampu berbahasa Indonesia dengan dalil supaya tidak menghampat pekerja asing. Keputusan ini sangat aneh dan kurang memihak kepada posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa nasional. Ibaratnya tamu di negeri orang dan pembantu di negeri sendiri. Inilah yang terjadi saat ini. Sangat jauh berbeda dengan bagaimana kondisi bahasa Indonesia pada masa prakemerdekaan yaitu sebelum dicetuskannya Sumpah Pemuda dan sesudah dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928. Semangat itu seolah hilang dengan hilangnya para pejuang-pejuang kemerdekaan kala itu. Sejarah tinggalah sejarah yang mengisahkan kebenaran dirinya sendiri dan bahasa tinggalah kata jika ia tidak mampu lagi menjadi sebuah kalimat yang bermakna bagi penuturnya. Selamat menghidupkan kembali para pejuang bahasa Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline