Lihat ke Halaman Asli

Keyakinan yang Tak Terbuktikan

Diperbarui: 24 Agustus 2015   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

 

Secara hakiki manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dari ciptaan lainnya. Salah satu yang menyebabkan manusia itu yang paling sempurna karena kita dianugerahi otak yang berfungsi sebagai alat berpikir. Otak yang sedemikian sempurnanya dibandingkan dengan otak ciptaan lainnya merupakan satu keunggulan kita dalam menjalani segala realitas kehidupan ini. Bukan tanpa alasan kehebatan otak manusia. Bahkan dengan adanya teknologi yang tercanggih saat ini pun menjadi bukti nyata bahwa otak manusia melebihi kecanggihan alat yang tercipta.

Kehadiran otak manusia yang memang dianugerahi oleh sang pencipta kepada manusia pada dasarnya untuk mengembangkan dunia yang telah menjadi rumah persinggahan sementara bagi umat manusia. Hal itu perlu diingat betul bahwa semua ciptaan harus kembali kepada penciptanya. Cepat atau lambat akan tetap kembali kepada pemilik kehidupan ini. Namun, apa yang harus kita lakukan sebelum kembali kepada-Nya? Tentu pertanyaan mendasar ini mengandung jawaban yang sangat beragam. Jawaban itu beragam karena kita memiliki cara pandang yang berbeda dan perbedaan cara pandang itu juga tentunya tidak terlepas dengan segala pembelajaran dan pengalaman hidup yang kemudian hal utamanya karena kemampuan kita untuk menalar segala realitas kehidupan ini.

Kita ambil satu contoh saja yaitu realitas kehidupan manusia yang tidak pernah terlepas dari rasa khawatir, gundah, takut, bingung, dan bahkan realitas manusia yang selalu mendambakan kebahagiaan, kenyamanan, dan berkat-berkat yang lain. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa menalar itu semua? Bagaimana kita menghadapi situasi-situasi seperti itu sehingga manusia mampu menempatkan dirinya terhadap realitas tersebut. Di sinilah diperlukan kemampuan bernalar manusia yang harus menjadi sebuah seni keterampilan berpikir manusia untuk mampu menganalisis realitas kehidupan manusia.

 

 

Katakanlah setiap manusia (orang tua) menginginkan yang terbaik kepada anak-anaknya sehingga jika keinginan itu tidak sesuai muncullah rasa khawatir terhadap anak-anaknya. Hal itu sangat wajar mengingat pengalaman hidup yang mereka pelajari sudah barang tentu lebih tahu daripada anak-anaknya. Namun, pengalaman hidup itu belum tentu sama dengan realitas kekinian. Tidak salah untuk mendengar pengalaman hidup itu. Justru dengan pengalaman hidup itu akan memperkaya pengalaman hidup kita nantinya. Hanya saja terkadang pengalaman hidup itu “seolah-olah” menjadi patokan atau harga mati agar dilaksanakan oleh para keturunannya. Padahal bila mencoba menganalisis permasalahannya belum tentu pengalaman hidup itu akan menjawab. Bisa jadi harus dibutuhkan tindakan baru untuk menemukan pengalaman hidup lainnya.

Memang di dalam diri manusia, kita diberikan rasa untuk yakin. Kepekaan meyakini sesuatu (di luar konteks keyakinan kepada pencipta). Manusia itu memiliki kemampuan untuk memberi keyakinan terhadap pengalaman hidup yang telah ia jalanani sepanjang usianya. Hanya saja terkadang ketika bertemu atau diperhadapkan kepada sebuah persoalan yang mungkin menurutnya salah dari segi pengalaman hidupnya, keyakinan itu akan semakin kuat pada dirinya untuk menolaknya. Bahkan memberi lampu merah agar hal yang tidak sesuai dengan pengalaman hidup itu akan segera dihentikan. Namun, dengan daya kemampuan manusia untuk menganalisis permasalahan, apakah lantas kita akan menyerah pada pengalaman hidup yang sudah dibagikan? Tentunya kita akan mencoba menjelaskan dari sisi yang lain. Kita mencoba menganalisis bentuk persoalan yang sedang terjadi misalnya.

Oleh karena itu, manusia tidak boleh melupakan bahwa keyakinan itu harus diuji dengan pembuktian. Pasalnya, keyakinan manusia pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu keyakinan yang terbuktikan dan keyakinan yang tak terbuktikan. Keyakinan yang terbuktikan merupakan keyakinan kita yang telah didasari dari tindakan-tindakan untuk mengumpulkan data-data yang komprehensif dari persoalan yang sedang kita hadapi. Sebaliknya, keyakinan yang tak terbuktikan yaitu ketika persoalan yang sedang terjadi hanya diputuskan berdasarkan pandangan semata tanpa melakukan verifikasi data yang cukup untuk menjawab persoalan yang sedang terjadi. Biasanya keyakinan yang tak terbuktikan itu ada dikarenakan selalu menyamaratakan sebuah persoalan yang satu dengan persoalan yang lainnya. Tentunya persoalan yang sedang dihadapi hanya dilihat dari bagian kulit luar persoalan dan bukan pada akar persoalan. Artinya, pandangan dari bagian permukaan akan dijadikan patokan kepada persoalan yang lainnya secara keseluruhan.

Sementa itu, kita mengetahui bahwa untuk menguji sebuah keyakinan apakah keyakinan itu terbukti dan tidak terbukti harus adanya sebuah verifikator atau pembukti. Hal itu pun verifikator harus dilihat dari faktor-faktor lainnya yang turut serta membantu pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, harus melewati triangulasi baru dapat dijadikan sebuah keyakinan yang terbuktikan. Jika tidak demikian, bisa jadi keyakinan itu hanyalah sebatas keyakinan yang tak terbuktikan. Termasuk segala realitas kehidupan kita ini terkadang kita lebih sering memberi keyakinan yang tak terbuktikan kepada persoalan yang sedang dihadapi sehingga muncullah rasa kekhawatiran yang sangat berlebihan yang jatuhnya adalah merugikan diri sendiri.

 

 

#Sebuah refleksi keyakinan terhadap realitas hidup

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline