Lihat ke Halaman Asli

Mengolok-olok Orang Lain Memang Asyik!

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1289350001760865093

Kemarin, saya membuat sebuah tulisan secara spontan dengan judul "Ketika Tifatul Sembiring Salaman dengan Michele Obama". Karena spontan, maka pembahasannya tidak mendalam. Saya coba melengkapinya dengan tulisan ini. Akan saya mulai dengan pengalaman pribadi. Kenapa? Karena sejujurnya, saya termasuk orang yang "sudah pengalaman" dalam hal diolok-olok oleh orang lain. Sekitar tahun 2000 hingga 2003 lalu, saya berada di sebuah komunitas yang sebagian besar anggotanya hobi mengolok-olok orang lain. Pernah suatu ketika, komunitas ini mengadakan acara kumpul-kumpul di Yogyakarta dalam rangka merayakan datangnya tahun baru. Saat itu, saya masih lajang, sudah bekerja di Jakarta dan tinggal di rumah kos. Saya baru pulang mudik dari Medan, dan seluruh pakaian saya kotor. Boleh dikatakan, di lemari saya tak ada tersisa satu pakaian bersih pun. Dalam keadaan seperti itu, saya merasa tidak siap untuk bergabung bersama teman-teman di Yogya. Mau mencuci baju dulu, sudah tak sempat. Beli baju baru? Hm… saya ketika itu dalam keadaan yang serba kekurangan dan harus ekstra hati-hati dalam membelanjakan uang. Maka, saya putuskan untuk tidak ikut acara tahun baru tersebut, dan secara jujur saya menyampaikan alasannya. "Saya harus mencuci baju dulu. Satu lemari kotor semua," kata saya. Ternyata, teman-teman di komunitas ini menganggap alasan saya sangat lucu. Sejak saat itu, saya pun menjadi objek lelucon mereka yang bertemakan "cuci baju". Terus terang, ini membuat saya kecewa pada mereka. Mereka sepertinya tak mau memahami kondisi saya. Bahkan yang paling menyakitkan, seorang teman perempuan di komunitas tersebut berinisial F, suatu hari mengajak saya chatting. "Jonru, aku boleh minta tolong gak?" katanya. "Minta tolong apa?" saya balik bertanya. "Begini. Di rumah saya banyak baju kotor. Tolong dong, dicuci." Masya Allah! Emosi saya langsung menggelegak ketika itu. Pembicaraan langsung saya putuskan, dan si teman itu saya hapus dari friend list di Yahoo! Messenger. * * * Kejadian lainnya bahkan lebih sadis lagi. Cerita selengkapnya pernah saya tulis di sini. Singkat cerita: Saat itu saya menjadi admin di sebuah forum diskusi yang kini sudah tiada: Ekilat.com. Sebagai admin, tentu saya harus menjalankan tugas sebaik-baiknya. Karena itu, banyak orang yang tidak suka pada tindakan dan keputusan saya. Bahkan, ada yang memfitnah saya sebagai seorang Kristen yang menyamar jadi orang Islam. Saya dicaci-maki dan diolok-olok. Salah satu kejadian yang saya ingat hingga hari ini adalah ketika seorang teman membela saya secara terbuka di forum diskusi itu. Saya sebenarnya tak kenal siapa dia. Kami hanya berkomunikasi lewat internet. Dia menulis kira-kira seperti ini, "Mas Jonru ini kan seorang yang pintar komputer dan internet, bla.. bla… bla…." Dan coba tebak, reaksi apa yang muncul setelah itu? Orang-orang yang memusuhi saya justru balik menyerang saya. "Hei Jonru! Ngaku-ngakunya pintar komputer dan internet! Paling si X ini kamu bayar untuk memuji kamu ya? Sini, coba saya tes dulu, seberapa pintar kamu itu? Hebatan mana dibanding saya?" Membaca komentar seperti ini, saya tentu merasa geli. Sebab seperti yang Anda baca, bukan saya yang mengaku pintar komputer. Tapi kenapa justru saya diserang dan disebut mengaku-ngaku pintar komputer/internet? Kejadian serupa terulang lagi ketika beberapa waktu lalu, website buatan saya Belajarmenulis.com di-hack oleh orang yang tak bertanggung jawab. Saya pun melontarkan kekesalan saya dalam bentuk sebuah tulisan. Lalu, seorang netter memforward tulisan ini ke Kaskus. Coba tebak apa yang terjadi setelah itu? Banyak orang yang lantas berkata, "Jonru menghiba-hiba, meminta belas kasihan di Kaskus." Hehehe… Sejak kapan saya menghiba-hiba dan meminta belas kasihan di Kaskus? Yang memposting tulisan saya di Kaskus itu kan orang lain? Benar kan? * * * Dari cerita di atas, jelaslah bagi kita, bahwa bagi orang yang suka mengolok-olok, mereka tidak bisa membedakan antara fakta dengan persepsi. Mereka pun terus mengolok-olok berdasarkan persepsi, kebencian dan hawa nafsu mereka, bukan berdasarkan fakta. Hal ini jugalah yang terjadi pada kasus Tifatul Sembiring yang salaman dengan Michele Obama. Ketika Pak Tifatul salaman dengan istri Barack Obama tersebut, orang-orang pun mengolok-oloknya. Dan ketika beliau menjelaskan bahwa itu tak sengaja, si pengolok-olok pun berkata, "Sok suci, lu!" Nah, sekarang coba bayangkan seandainya Pak Tifatul sembiring berkata bahwa itu memang sengaja. Apakah para pengolok-olok tersebut menjadi maklum dan berhenti mengolok-olok? SAYA YAKIN TIDAK! Mereka akan berkata, "Nah, ketahuan belang lu! Ngakunya orang PKS. Ternyata aturan PKS lu langgar juga! Dasar!" Sekarang, bayangkan pula bila Pak Tifatul menolak bersalaman dengan Michele Obama. Si pengolok-olok pasti akan berkata, "Dasar sok suci! Tidak menghargai tamu negara! Korbankan dikit prinsip PKS kamu itu, kenapa sih? Demi menghormati tamu negara!" * * * Terus terang…. Ketika membaca tulisan para pengolok-olok tersebut di Twitter, saya langsung teringat pada masa lalu. Pengalaman saya sendiri. Ketika itu saya merasakan, bahwa sebagai orang yang diolok-olok, apapun yang kita ucapkan pasti dianggap salah. Tak ada yang benar. Apapun yang kita ucapkan, pasti akan menjadi objek olok-olok berikutnya. Karena itu, ketika muncul kasus hacking Belajarmenulis.com, dan saya dibantai oleh orang-orang di Kaskus, yang saya lakukan adalah NO COMMENT. Saya diam saja. Sebab berdasarkan pengalaman, apapun yang saya ucapkan untuk membantah olok-olok tersebut, pasti dianggap salah, dan saya makin diolok-olok. Semakin saya aktif membela diri, maka olok-olok terhadap saya pun akan semakin banyak. Hasilnya, saya yang akan capek sendiri, dan para pengolok-olok itu makin puas, makin terpuaskan hawa nafsu mereka. * * * Ya, bagi mereka yang hobi mengolok-olok orang lain, rasanya memang puas, asyik. Mereka mungkin belum merasakan sendiri, bagaimana sakitnya bila mereka yang jadi bahan olok-olok orang lain. Kita menceramahi mereka, menghimbau agar jangan mengolok-olok orang lain pun, saya kira tak akan membuat mereka jera. Yang membuat mereka jera - saya kira - hanya satu hal: Yakni ketika mereka sendiri yang menjadi objek olok-olok tersebut, dan merasakan sendiri betapa menyakitkan bila diperlakukan seperti itu. Alhamdulillah, saya termasuk orang yang punya masa lalu tidak menyenangkan. Saya termasuk orang yang di masa lalu sering diolok-olok oleh orang lain. Saya sudah merasakan sendiri bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu. Karena itu, saya pun tak mau mengolok-olok orang lain. Saya usahakan semaksimal mungkin agar saya tidak sampai melakukan perbuatan keji seperti itu. Namun sebagai manusia biasa, mungkin saya sesekali khilaf. Jadi bila Anda termasuk orang yang merasa pernah diolok-olok oleh saya, maka dengan tulus saya minta maaf. Semoga saya bisa terus memperbaiki diri. * * * Nah, bagi Anda yang hingga hari ini masih suka mengolok-olok orang lain, apakah Anda harus menjadi korban dulu untuk membuat Anda jera? Renungkanlah wahai Kawan! NB: Silahkan baca tulisan "Ketika Tifatul Sembiring Salaman dengan Michele Obama" Terima Kasih dan Salam Sukses! Jonru www.jonru.net @jonru




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline