Lihat ke Halaman Asli

Harjono Honoris

Wiraswasta

Athirah: Drama Keluarga Bugis yang Indah, tapi Kurang Bercerita

Diperbarui: 17 Oktober 2016   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: haloselebriti.net

Drama yang indah, tapi seringkali diam dan kurang berbicara. Salah satu karya Miles Films yang berani tampil beda, tapi sulit dicerna oleh penonton film modern.

Saya datang dengan ekspektasi tinggi pada Athirah, dengan identitasnya sebagai karya Miles Films. Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 1 & 2 adalah sekumpulan film yang dapat memberikan cerita humanis dengan begitu memikat dan bermanfaat. Bahkan film bela diri dari Miles Films, Pendekar Tongkat Emas, bukan hanya ciat-ciat, tapi sarat makna dan filosofi. Semua karya Miles Films ini membuatku ingin menontonnya lebih dari sekali; harapan serupa tersimpan pada Athirah.

Sinopsis

Ketika saya memasuki gedung bioskop, saya mendengar bunyi gendang Makassar persis seperti di acara-acara kelurahan. Ternyata sedang ada adegan pernikahan lengkap dengan baju adat serba merah yang khas Sulawesi Selatan. Kemudian, mulai diperkenalkan sosok Athirah (Cut Mini) dengan seluruh anggota keluarganya, dari sang suami Puang Haji Kalla (Arman Dewarti), dua anak perempuan, dan anak lelaki Ucu (Christoffer Nelwan) yang sejatinya adalah sosok wakil presiden Jusuf Kalla. Tampaknya mereka adalah keluarga berada, di mana sang ayah menjalankan bisnis pengiriman barang N.V. Hadji Kalla, sang anak Ucu bisa mengemudi motor Vespa, dan selalu tersedia makanan lengkap di meja makan mereka setiap malam.

Keluarga Ucu adalah gambaran keluarga harmonis. Setiap makan malam, mereka selalu menunggu sampai anggota keluarganya lengkap kemudian makan sambil bercakap-cakap. Suasana hangat selalu terpancar setiap makan malam, sampai ketika sang ayah mengambil istri kedua tanpa memberi tahu Athirah. Hubungan suami istri ini mulai keruh, dan merenggangkan hubungan antar anggota keluarga. 

Sosok sang ayah perlahan mulai menghilang dari keluarga Athirah ketika hatinya lebih tertambat pada istri kedua, dan jarang pulang ke rumah Athirah. Athirah dan anaknya Ucu kemudian harus kembali belajar, apakah mereka bisa terus menjadi keluarga tanpa junjungan sang kepala keluarga?

Pujian

Sumber Gambar: antarasulteng.com

Perwujudan latar dan performa akting adalah dua kilauan yang memancar sepanjang film.

Suasana Makassar tahun 50-60an dalam film terlihat sederhana tapi cantik dan otentik. Becak, rumah sederhana dengan jendela berpintu, seragam sekolah berwarna gading, dan dialog beraksen Makassar-Bugis menghidupkan kisah Athirah; terasa sangat dekat dan nyata bagi saya sebagai warga kota Makassar. Warna-warna dalam film dimainkan dengan begitu baik, terlihat dengan penonjolan warna gading untuk suasana tempo dulu, warna cerah untuk keindahan alam, dan warna gelap untuk suasana sendu. Detail-detail kecil yang begitu khas, seperti dalam film AADC 2, memberikan suatu pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Pemanjaan mata ini didampingi oleh pergolakan emosi dalam tiap karakternya. Tak ada cela yang saya bisa dapatkan dalam akting, setiap pemeran terlihat natural dan tenggelam dalam perannya, khususnya bagi Cut Mini dan Christoffer Nelwan yang fasih melafalkan aksen Makassar. Juru kamera seakan menyadari kekayaan performa akting ini sampai fokus gambar dipertajam ke arah mimik wajah tiap pemain; terlihat sangat jelas sampai saya bisa melihat cahaya mata yang jelas dan terkadang berurai ketika sedih. Tindakan yang sangat tepat.

Keluhan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline