Satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri, yang tidak mau berubah atau mengubah diri pasti digilas oleh perubahan itu sendiri, terbuang ke tumpukan sejarah. Jika kalimat "satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri" disatukan dengan kalimat "hari ini lebih baik dari hari kemaren, besok lebih baik dari hari ini", terbentuklah sebuah paragraph yang kandungan makna di dalamnya begitu luar biasa sekali. Perubahan menuju ke yang lebih baik.
Bahkan gunung-pun berubah, danau-pun berubah, sungai-pun berubah, lautan-pun berubah, angkasa-pun berubah, virus COVID-19-pun bermutasi makin pintar menginfeksi. Tengok, apa yang tidak berubah? ....
Tapi, apakah setiap perubahan selalu menuju ke yang lebih baik?
Sepuluh tahun setelah merantau, saya pulang ke kampung halaman. Betul, banyak sekali yang sudah berubah. Gunung yang dahulu kala hijau dipenuhi pinus, sekarang gundul melompong tinggal semak-semak, dan setiap kemarau panjang terbakar habis. Semua sumur-sumur kampung kering kerontang, sungai jernih yang dahulu tempat kami bermain dan mandi kini menyempit dan jorok, jangankan untuk mandi, melihat saja mau muntah. Lahan-lahan tanam padi yang subur kini semua ditanami rumah beton. Danau Toba, yang dahulu kala cantiknya mempesona, kini tepiannya dipenuhi keramba, minyak solar, dan segala jenis sampah, dan semua gunung dan bukit yang mengelilinginya sudah gundul tandas tuntas. Perubahan ......
Sungai Ciliwung juga berubah dari masa ke masa, ya kan?
Bukan perubahan seperti itu yang dimaksud, saya setuju. Perubahan itu seharusnya membuat sungai-sungai lebih bersih dari hari kemaren, dan besok lebih bersih dari hari ini.
Tetapi, itulah masalah terbesar kita, menganut paham pokoknya berubah. Berubah dari apa menjadi apa, itu urusan lain, tidak relevan untuk dibahas. Dan itu berulang-ulang terjadi pada sistem Pendidikan Nasional. Bahkan sering kali terjadi sebuah sistem yang baru tidak terkait dengan tujuan yang hendak dicapai, yang penting berubah.
Jaman dahulu, tidak ada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), lalu diadakan, katanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kemudian EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN), tujuannya untuk meningkatkan mutu pendidikan juga, yang kemudian diganti menjadi Ujian Nasional (UN) dengan tujuan yang itu-itu juga. Betulkah semua tujuan itu tercapai? Saya tidak tahu, tapi yang pasti, skor PISA kita masih sangat rendah.
Nah, kini, di taon 2020, UN akan dihapus lalu diganti dengan Asesmen Nasional, tujuannya untuk meningkatkan mutu Pendidikan Nasional. Dan yang mencengangkan, Mendikbud sampai harus menyinggung-nyinggung bimbel, itu membuat stress anak-anak, katanya. Pak Mendikbud, jika anak-anak stress karena ikut bimbel, maka bimbel pasti mati karena tidak ada peminat. Orangtua yang mana yang mau, sudah bayar mahal malahan bikin stress anak.
Terus terang ya, seperti apa rincian Asesmen Nasional itu saya belum tahu, meski di youtube sudah dijelaskan oleh pak Nadiem, tapi masih terlalu umum. Tapi, beberapa dari penjelasan itu sudah bisa dipertanyakan relevansinya, dan membutuhkan penjelasan.
Misalnya, apa kaitan antara asesmen nasional dengan peningkatan kualitas pembelajaran, pengajaran, dan lingkungan belajar di satuan pendidikan? apakah Asesmen Nasional akan bernasib sama dengan EBTANAS, UAN, dan UN?. Sepanjang pemahaman saya, kualitas dari "pengajaran" bergantung pada kualitas dari "pengajarnya", titik.