Konon di suatu masa dan di suatu wilayah hiduplah beragam jenis manusia. Manusia berambut keriting dan yang rambutnya lurus, manusia berkulit putih, berkulit kuning, berkulit hitam, berkulit merah, yang matanya sipit, yang matanya membelalak dan yang matanya juling, semua hidup tenteram bersama, damai dan sentosa.
Mereka sangat menghormati para leluhur, hal yang wajar sekali. Jika ibu yang menjadi leluhur terdekatmu tidak kau hormati, itu sama saja kau manusia yang tidak tahu berterimakasih. Delapan bulan kau dikandungannya, setahun kau sedot air susu dari payudaranya. Rasa hormat pada leluhur mempersatukan mereka semua ke dalam satu ikatan kuat, menjadi momen terbaik mempererat tali persaudaraan.
Ketenteraman itu berasal dari pikiran bahwa mereka hidup di tanah yang sama, setelah mati juga nanti akan dikuburkan di tanah yang sama. Pikiran bahwa mereka bernafas dari langit yang sama, dan disinari oleh matahari yang sama. Sawah-sawah juga diguyur hujan yang sama yang dicurahkan dari langit yang sama. Rumah-rumah mereka dibuat dari kayu yang ditebang dari hutan yang sama, batu pondasi rumah diambil dari sungai yang sama. Terang siang yang dinikmati adalah dari matahri yang sama, dan malam romantis purnama yang pasti membuat gadis-gadis remaja berdebar menanti ungkapan cinta sang terkasih, itu dari bulan yang sama. Jadi apa yang perlu diributkan?
Hidup itu singkat, jadi mari kita nikmati bersama-sama. Berkelahi itu hanya menguras tenaga, tenaga yang seharusnya bisa digunakan mencangkul di ladang. Memfitnah itu hanya menghabiskan waktu, waktu yang seharusnya digunakan menebang kayu di hutan. Caci maki itu hanya menghabiskan energi, lebih baik ayo kita memancing di sungai dan ikan hasil memancing lalu kita bakar bersama. Membenci itu hanya merusak pikiran menyebabkan cepat tua, lebih baik kita bernyanyi bersama sambil tepuk tangan riang gembira. Maka bergemalah lagu di sini senang ... di sana senang .... di mana-mana hatiku senang .... dst. Setiap pelosok wilayah itu memang selalu memantulkan kedamaian dan keheningan.
Mereka hidup tenteram karena mereka berpikir hanya untuk kehidupan saat nafas dan jiwa melekat di badan, tidak dibebani oleh pikiran setelah kehidupan, saat nafas berhenti dan jiwa melayang. Hidup damai tenteram, lalu mati, titik. Ketenteraman karena tidak ada satupun yang berpikir tentang bagaimana setelah mati, bagaimana menghindari neraka, bagaimana meraih surga. Surga dan neraka tidak terdapat di dalam kosa kata yang mereka gunakan sehari-hari.
Datanglah pengetahuan dari luar wilayah, pengetahuan tentang kehidupan setelah kematian, pengetahuan tentang surga dan neraka. Gambaran tentang surga itu sangat mempesonakan pikiran, gambaran tentang neraka itu sangat menakutkan dan mengguncangkan jiwa. Pengetahuan yang baru itu mengguncang pemahaman tentang rasa hormat pada leluhur, sebab dikatakan di situ bahwa itu adalah penyembahan terhadap berhala, neraka jahanam menjadi upahnya.
Awalnya orang berpikir bahwa kehidupan itu hanya tiga tahap, lahir, hidup, lalu mati. Itu yang membuat mereka berusaha menikmati hidup saat ini, dan jadilah kehidupan mereka sentosa aman dan tenteram.
Kini pengetahuan bertambah menjadi lahir, hidup, mati, lalu bangkit untuk hidup abadi. Pengetahuan tentang hidup abadi itu cukup meresahkan, sebab tersedia dua pilihan. Hidup abadi di surga yang damai atau hidup abadi di neraka jahanam yang menyala-nyala. Orang-orang mulai berpikir bahwa demi kehidupan abadi di surga, kehidupan saat ini layak untuk dikorbankan. Orang-orang mulai berpikir tentang kehidupan berikutnya setelah kematian tubuh.
Kebersamaan dan ketenteraman bukan lagi yang utama. Orang-orang mulai berpikir tentang surganya masing-masing dan tentang neraka yang harus dihindari. Momen penghormatan terhadap leluhur mulai luntur meredup. Celakanya, yang datang dari luar itu juga membawa pengetahuan bahwa sekeping surga bisa diraih melalui kepalan tangan atau dengan hunusan pedang, jika perlu dengan desingan peluru dan dentuman meriam. Pengetahuan tentang surga dan neraka mulai memisahkan mereka.
Kini wilayah yang dahulu tenteram itu kini menjelma menjadi ladang-ladang. Ada yang menjadi ladang pembantaian, dan lainnya menjadi ladang saling fitnah.Semua hanya karena memperebutkan sekeping surga, nanti di kehidupan yang lain, kehidupan setelah kematian. Demi surga itu, kehidupan saat ini layak dikorbankan.
Betulkah begitu?