Lihat ke Halaman Asli

Jonny Hutahaean

tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Melarang Memberikan PR, Langkah Bodoh

Diperbarui: 26 September 2016   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Di negeri Finlandia, anak-anak di sekolah rata-rata empat jam per hari, dengan tugas pekerjaan rumah (PR) akademis yang minim. Mutu pendidikan mereka adalah salah satu yang terbaik di dunia.

Itu menjadi salah satu argumentasi contoh, mengapa bupati di sebuah kabupaten mengeluarkan surat edaran yang melarang pihak sekolah memberikan PR akademis ke siswa, dan ide itu sangat disetujui oleh Bapak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Argumentasi dan contoh yang kelewat dangkal, menggampangkan persoalan. Lagi pula bapak menteri ini baru saja melontarkan ide full day school, lalu setuju pada kebijakan meniadakan PR akademis buat siswa, sungguh kontradiktif.

Kalau diajukan pertanyaan begini, mengapa mutu pendidikan di Finlandia dapat menjadi salah satu yang terbaik di dunia, pasti jawabannya bukan karena di sana siswa di sekolah rata-rata hanya 4 jam per hari dan minim PR akademis. Pasti bukan itu jawabannya. Sekali lagi bukan. Bahkan, jika kita ajukan pertanyaan itu ke orang Finlandia, waktu yang rata-rata 4 jam per hari di sekolah dan minim PR akademis tidak masuk di dalam jawaban yang mereka berikan. Jawaban mereka pasti berkaitan dengan kultur masyarakat Finlandia itu sendiri.

Siswa di sekolah rata-rata 4 jam per hari bukan berarti siswa Finlandia belajar hanya 4 jam per hari. Tidak ada PR akademis tidak menyebabkan siswa Finlandia berleha-leha dengan gawainya. Tidak akan kau temukan di sana orangtua siswa yang menganiaya guru, tidak juga kau temukan siswa yang menendang pantat guru. Paradigma orang Finlandia tentang pendidikan sangat berbeda jauh dari paradigma orang Indonesia.

Kita memang terbiasa membunuh nyamuk dengan meriam, tumpas kelor. Karena soal UN sering bocor, dan katanya UN membuat sebagian siswa stres, maka usul paling mudah adalah agar UN ditiadakan. Siapa oknum yang membocorkan soal itu tidak pernah diusut sampai tuntas setuntas-tuntasnya, dan bagaimana menangani psikologi orang yang stres karena UN tidak pernah dipikirkan.

PR buat siswa sebetulnya hanya sarana bagi guru agar dapat memonitor keberlangsungan pembelajaran di luar ruang sekolah. Penilaian terhadap PR siswa nomor satu adalah tentang kemauan siswa mengerjakannya, nomor dua adalah tentang cara berpikir siswa dalam menyelesaikan soal PR, barulah urutan ketiga tentang kebenaran dari jawaban yang diberikan.

Mari kita (guru, orangtua, kakak, dll) legowo mengakui bahwa kita tidak punya kapasitas mengajari orang sehingga menjadi pintar. Orang menjadi pintar adalah karena orang itu belajar. Itu tidak lantas membuat kita tidak perlu mengajar, tetapi batas kemampuan kita adalah mengajari anak sedemikian sehingga anak itu memiliki modal yang cukup untuk belajar mandiri. Modal yang cukup ditambah motivasi yang besar, alhamdulilah akan membuat siswa senang dan bahagia saat belajar. Berikan bekal, lalu dorong melalui motivasi, saya yakin mereka akan melesat.

Jika sebelumnya (saat di sekolah) siswa sudah dibimbing dan diajari sampai memiliki modal yang cukup untuk mengerjakan PR, maka PR itu justru menyenangkan bagi siswa. Bahkan PR dapat menjadi momentum interaksi yang sangat baik antara anak-orangtua.

Betul juga agar volume PR itu tidak boleh membuat siswa kehilangan waktu untuk bermain. Anak-anak adalah makhluk bermain, dan bermain penting bagi perkembangan dan pertumbuhan jiwa dan mentalnya.

PR yang diberikan mendadak dalam jumlah besar, siswa belum dibekali dengan modal yang cukup, maka PR akan membuat stres. Bahwa siswa menjadi stres karena PR, itu digunakan sebagai alasan untuk meniadakan PR, itu adalah kebodohan.

Kebijakan resmi yang dibuat bupati itu untuk melarang sekolah memberikan PR akademis ke siswa adalah kebijakan gampangan yang didasari kedangkalan berpikir. Bagi saya, kebijakan itu mencerminkan bahwa pembuat kebijakan tidak memahami tahapan-tahapan dalam proses belajar siswa. Itu sekedar kebijakan populis untuk menyenangkan siswa, bukan untuk mencerdaskan siswa, apalagi mencerdaskan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline