Sementara capres-capres lainnya sudah lama mengungkapkan visi dan misi mereka sebagai capres, Jokowi menyimpan visi dan misi di dalam kalbu sampai banyak yang penasaran dan bertanya dalam hati, apakah Jokowi mempunyai visi untuk Indonesia?.
Sudah sejak lama di waktu yang lalu ARB menyampaikan visi dan misi kalau terpilih menjadi orang nomor satu di Negara ini. Katanya pada tahun 2045 (32 tahun sejak visi dan misi diungkapkan) Rakyat Indonesia akan memiliki pendapatan perkapita lebih dari tiga puluh ribu dollar AS saban tahun. Secara halus bapak ARB menginginkan berkuasa selama 32 tahun persis seperti pak Suharto, sesepuh dan pengendali mutlak Golkar di zamannya. Jadi ,,,,, …. ????
Sang Jenderal Purnawirawan, Prabowo Subianto, menjanjikan setiap desa mendapatkan dana sekian miliar rupiah saban tahun. Capres lain dan yang merasa layak menjadi capres juga sering mengungkapkan visi dan misi tentang Indonesia ke depan, tetapi semua berorientasi hanya pada urusan ekonomi perut, dan dengan begitu akan dan pasti berkaitan ke jamban atau toilet. Kita semua mengetahui bahwa akhir dari urusan perut adalah jamban atau toilet. Dengan begitu saya simpulkan bahwa capres (selain Jokowi) memiliki visi hanya dari mulut ke anus dan lalu bebas merdeka terbuang di jamban, lele dumbo makin sejahtera.
Bunyi UUD :”segala faktor-faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, tampaknya salah ditafsirkan terutama pada kata “hajat”. Urusan buang hajat adalah urusan Negara, begitu mungkin.
Jadi capres-capres (selain Jokowi) orientasinya sangat terbatas pada urusan perut dan hajat saja. Buatlah rakyat menjadi kenyang, maka rakyat akan diam meski Negara ini menjadi terjual dan terjajah, pokoke makan. Begitulah prinsip para citrawan politikus (politikus yang mengedepankan citra, gemar tebar pesona, untuk membungkus dan menyembunyikan keaslian diri yang seperti serigala).
Sebenarnya visi dan misi bernegara sudah tertuang dengan baik, jelas, dan tuntas di keseluruhan naskah UUD (konstitusi). Entah para capres membaca UUD secara utuh dan lalu memahaminya dengan baik, saya tidak bisa menyimpulkan.
Pada akhirnya Jokowi mengatakan begini : “kita tidak sekedar membutuhkan visi dan misi, tetapi membutuhkan revolusi mental”. Revolusi mental, sesuatu yang seharusnya sudah kita alami sejak di waktu yang lama pada masa yang sangat lampau. Tetapi karena revolusi mental harus diawali dari diri sendiri, dimulai dari kerelaan diri sendiri untuk hidup sesuai pendapatannya yang halal, dimulai juga dari kemampuan diri sendiri untuk memberikan pengorbanan mengutamakan kepentingan publik, bertitik pangkal dari diri sendiri menjadi contoh tentang kedisplinan, kejujuran, dan ketulusan, maka bagi seorang pemimpin (atau calon presiden) revolusi mental menjadi sesuatu yang mustahil, itu akan menjerat leher sendiri ke tiang gantungan. Maka, setelah Sukarno belum ada satupun presiden sesudahnya yang berpikir tentang revolusi mental.
Kini Jokowi hadir dengan “revolusi mental”, tidak terbatas hanya pada urusan perut dan toilet, tetapi menukik dalam ke masalah paling mendasar dari bangsa Indonesia, mental kemunafikan.
Revolusi mental itu tidak hanya menyakitkan tetapi sangat menyakitkan, tidak hanya pahit tetapi sangat pahit. Ilmu psikologi mengatakan bahwa sesuatu hal yang berlangsung sangat lama dan terus menerus akan berubah menjadi kebiasaan dan kenormalan. Jika ada dua orang waras di antara seribu orang gila, maka kedua orang itulah yang gila. Kita semua tahu bahwa gaji Bupati tidak akan membuat seorang Bupati mampu membeli mobil mewah Toyota Fortuner, tetapi seorang Bupati yang hanya memiliki mobil pribadi Toyota Avanza akan kita anggap Bupati bodoh dan gila. Begitulah kegilaan sekarang.
Itu sebabnya saya anggap Jokowi itu gila, tetapi perlu atau bahkan sangat perlu. Pangkal kegilaannya begini : sebagai RI-1 yang memegang hak atas segala kekayaan yang tersimpan, baik di brankas kas Negara (uang) maupun tertanam di bumi pertiwi atau yang terbenam dan berenang di laut nusantara, dia harus tidak menggunakan kesempatan itu untuk memperkaya kroni-kroni terutama tidak memperkaya keluarga. Untuk ukuran mental bangsa terkini, itu disebut “membuang kesempatan”. Merevolusi mental birokrat akan mengundang perlawanan yang tidak hanya keras tetapi akan sangat keras sekali. Mental birokrat yang sangat bobrok yang selalu hidup jauh melebihi gajinya, selalu minta dilayani alih-alih melayani, sudah berlangsung dalam kurun yang sangat lama sekali. Dan tidak ada satupun birokrat yang rela melepaskan kenikmatan itu, kecuali di mulut.
Tetapi memang “revolusi mental” harus dilakukan jika kita tidak menghendaki Negara ini ambruk di masa depan yang tidak begitu lama lagi, negeri yang hilang tertelan atau diterjang jaman yang berlari supersonik. Itu makanya Jokowi menjadi perlu.
Besarnya tantangan merevolusi mental bangsa ini sungguh tidak terkira luasnya dan dalamnya, amit-amit deh. Visi dan misi untuk menjadikan rakyat berpendapatan lebih dari tiga puluh ribu dolar AS saban tahun menjadi visi dan misi yang terlalu kecil hanya seupil, apa lagi visi membagi-bagikan uang semiliar rupiah ke tiap desa, itu mah seupil, kata orang Betawi.
Jika Jokowi sudah berani menantang badai dan petir demi ketahanan bangsa di masa depan, kini tinggal keberanian kita saja untuk bersama Jokowi atau tidak.
SIAPA YANG BERANI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H