Lihat ke Halaman Asli

Jonny Hutahaean

tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Kapolri, Sara, Pengakuan

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Kerusuhan di Yogya tidak ada kaitannya dengan SARA. Rumah jangan dijadikan tempat ibadah”. Begitu kata Kapolri di Koran Media Indonesia terbitan Senin, 9 Juni 2014.
Dan begitulah selalu, tak ada pengakuan. Sementara pengakuan itu sangat baik dan perlu, bagi jiwa dan untuk raga, tetapi pejabat-pejabat kita entah karena apa selalu menghindari sebuah pengakuan.
Belum pernah ada sebuah “perbaikan” yang tidak didahului dengan “pengakuan”. Karena di negeri ini tidak pernah ada pengakuan bahwa “konflik SARA itu ada dan terjadi”, maka lantas tidak pernah ada tindakan pasti dalam menyikapinya atau katakanlah sebuah kebijakan untuk mengatasinya. Entah sampai kapan hal ini tetap ditutupi atau tertutupi.
Adalah tidak sulit untuk memahami bahwa konflik yang terjadi di Yogya berkaitan dengan salah satu elemen SARA, yaitu tentang agama. Itu sangat mudah dilihat dan terlihat. Menutup-nutupi dan berusaha mengalihkan sumber konflik bukanlah tindakan yang bijaksana dan baik, itu malah menyimpan bara di bawah bantal. Bara yang berpotensi menghanguskan seisi rumah. Apalagi mengatakan bahwa konflik itu terjadi karena ada yang menghasut dan menunggangi (seperti jaman Orba), itu tindakan paling tidak bijaksana dan sangat pengecut. Itu merendahkan martabat rakyat menjadi seekor kerbau tunggangan. Lagi pula sudah sangat lama yang menghasut dan yang menunggangi tidak pernah ditemukan, atau tidak pernah dicari.
Melarang rumah menjadi tempat ibadah, itu sangat membingungkan atau bahkan sangat keterlaluan. Solat itu adalah ibadah, berdoa itu adalah ibadah, membaca kitab suci itu adalah ibadah, mengumandangkan azan itu adalah ibadah, menyanyikan lagu pujian itu adalah ibadah, diskusi agama itu adalah ibadah, dan lain-lain yang masih sangat banyak hal baik yang menjadi ibadah. Dan semua itu tidak boleh dilakukan di rumah?, azaibullah ….. ????.
Kalau yang dimaksud adalah beribadah ramai-ramai yang berarti berkaitan dengan keramaian, sejak kapan di negeri ini bahwa ibadah berjamaah harus ada ijin keamanan dari kepolisian?. Kalau memang harus begitu, astagafirullah negeri ini sedang dalam perjalanan menuju semi atheis, on the way to hell, beragama tetapi tidak bertuhan. Saya sungguh tidak dapat mengerti jalan pikir dari Kapolri ini.
Rumah-rumah ibadah yang dipersoalkan itu sesungguhnya hanyalah buatan tukang-tukang, tukang yang perangainya tidak diketahui, yang saat membangun bisa saja mencampurkan ingus dan air kencingnya mengaduk semen, atau memasang bata sambil mengumpat kotor karena gaji hariannya belum dibayar. Dan uang pembangunan dari sumbangan itu mungkin campur aduk dengan uang hasil korupsi dana bansos atau penjualan narkoba, atau lainnyalah. Bagi pemborong, rumah ibadah itu tidak lebih dari bisnis, bagi tukang itu tidak lebih dari pekerjaan. Seperti itulah yang menjadi pangkal masalah. Sebenarnya, kini lebih tepat menyebutnya sebagai “simbol keangkuhan dan hasrat akan dominasi”.
Ah, seharusnya rumah ibadah paling suci adalah karya langsung tangan sang Maha pencipta. Itu adalah gunung, sungai, laut, pohon, gua batu, matahari, bulan, bintang, dan lainnya.
Tapi, ya memang sudah begitulah di negeri ini, dalam waktu yang sangat lama di masa lalu, dan dalam waktu yang sangat lama ke masa depan.
Sebab tidak ada pengakuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline