Lihat ke Halaman Asli

Jonminofri Nazir

dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Belajar Toleransi pada Jen A.H. Nasution dan Pak Sitepu

Diperbarui: 17 April 2023   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari minggu pagi, 16 April 2023, saya bertemu guru saya  semasa SMA tahun 1976-1980.

Saya memanggilnya Pak Sitepu. Kini usianya 86 tahun. Pikirannya masih jernih. Sehat. Ingatan masih tajam. Hanya pendengarnya berkurang sedikit. Saya diberi amanat oleh teman-teman mengantarkan "tali-kasih" kepada guru kimia ini. Tali kasih adalah program tanda terimakasih dari murid kepada guru kami semasa masih bersekolah di SMAN 4 Jakarta, 43 tahun yang lalu.

Dia bercerita, bahwa guru merasa sukses jika dia melihat muridnya sukses di masa depannya. Jika siswanya tidak sukses dalam hidupnya, guru tersebut merasa tidak sukses sebagai seorang pendidik. 

Guru ini  ingin mengatakan, bahwa anak didiknya sekarang banyak yang sukses setelah memasuki kehidupan dewasanya. Ukuran paling rendah adalah sudah banyak yang menyelesaikan sarjana dari strata satu, stata dua, hingga strata tiga. Banyak yang menjadi profesional di bidang masing-masing. Jadi pejabat, pengusaha, dan sebagainya. Banyak sekali yang sukses. Melihat murid sukses, hati Pak Sitepu menjadi ikut senang.

Tentu saja guru yang dimaksudnya adalah guru dalam kata jamak. Bukan seorang guru saja. Tapi juga guru lain yang membentuk kepribadian dan karakter si murid. Termasuk, moralnya: tidak korupsi, menghargai orang lain, disiplin, dan sebagainya.

Karena itu,  Pak Sitepu melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya sebagai guru kimia. Misalnya, pada tahun 1971, ketika itu SMA N 4 jalan Batu, Jakarta, belum memiliki laboratorium kimia. Lalu, dia menumpang menggunakan lab SMAN 7, yang lokasinya berdekatan dengan SMAN 4.

Untuk memperdalam ilmu kimia,  murid-muridnya meminta Pak Sitepu memberikan les tambahan. Les diselenggarakan di rumah seorang muridnya, anak Jendral A.H. Nasution ketua MPR RI ketika itu. 

Suatu hari, setelah selesai les, anak perempuan Pak Jendral berpesan agar jangan pulang dulu karena Pak Nas ingin bicara. "Saya ingat ketika itu bulan puasa," Pak Sitepu mengenangkan. 

"Silakan tehnya diminum," kata Pak Nas. 

"Tidak usah, Pak. Sekarang bulan puasa," Pak Sitepu menjawab dengan maksud untuk menghargai orang yang berpuasa. 

Lalu Pak Nas menjelaskan sikap hidup bertoleransi. Intinya: mengapa memaksa orang yang tidak puasa untuk berpuasa? Orang yang berpuasa  tidak terpengaruh oleh orang yang makan dan minum di hadapannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline