Polda Metro Jaya akhirnya memasang 12 kamera di gerbang jalur transjakarta. Kamera itu aktif awal Oktober 2019 ini. Alat canggih ini akan memotret semua pengemudi yang masuk jalan yang dibangun khuhus untuk bus yang melayani masyarakat secara massal tersebut. Hasilnya memadai untuk mengenali wajah seseorang yang masuk wilayah tangkapan lensa.
Hasil tangkapan CCTV tersebut akan menjadi bukti bagi polisi untuk menilang pengemudi sepeda motor atau mobil yang masuk jalur transjakarta. Polisi akan mengirim surat tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement ( ETLE) ke alamat pemilik kendaraan.
Negara akan memungut Rp500.000 sebagai hukuman atas pelanggaran itu. Ini jumlah yang besar bagi pengemudi ojek online, dan bagi siapa saja yang berprofesi sebagai pengemudi. Secara keseluruhan bagi semua orang, jumlah Rp500.000 besar, orang enggan mengeluarkannya untuk hal yang tidak bermanfaat.
Memasang kamera di setiap mulut jalan transjakarta barangkali adalah cara terkahir --yang efisien dan efektif-- yang bisa ditempuh oleh Polisi dan Manajemen Transjakarta agar penerobos jalur transjakarta kapok.
Sebenarnya ada cara lain yang lebih ampuh untuk mencegah pengemudi sepeda pmotor dan mobil melintas masuk jalur transjakarta, yaitu menugaskan Pak Polisi lalu lintas berdiri di setiap pintu masuk jalur transjakarta, lengkap dengan pistol di pinggang dan surat tilang di tangan.
Tapi cara ini tentu saja tidak efisien, kendati efektif. Biayanya terlalu besar menyebar banyak polisi di sepanjang lintasan transjakarta sebanyak 13 koridor itu.
Jadi, pemasangan kamera itu sudah oke banget.
Lalu, pelajaran apa yang kita petik dari kebijakan memasang kamera di pintu jalur transjakarta ini?
Kebijakan memasang kamera ini mengingatkan kembali watak manusia Indonesia yang sudah kita kenal sejak dulu: memiliki mental terobos. Ilmuwan yang menyebut manusia Indonesia memiliki mental terobos adalah Koentjaraningrat di bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal yang sama diungkapkan lagi oleh Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia.
Mental terobos bukan sebuah pujian, tapi mental yang buruk. Perilaku manusia pemilik mental terobos ini tidak terpuji. Mereka enggan mengikuti aturan. Bagi mereka, sistem berlaku untuk orang lain, dia tidak kena sistem. Orientasi mereka adalah pada hasil dan mengabaikan bagaimana hasil itu dicapai. Melanggar hukum oke, menyikut orang boleh.
Mereka tidak peduli jika perilaku mereka merugikan orang lain atau merugikan negara. Koentjaraningrat menyeut mental orang seperti ini seperti ini sebagai penghambat pembangunan.