Lihat ke Halaman Asli

Jonminofri Nazir

dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Dua pengalaman di Busway dan Transjakarta

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tinggal bilangan Ciputat, Tangerang Selatan. Sebagian besar pekerjaan saya berlansung di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, atau Jl H. Rasuna Said, jakarta Selatan. Kedua lokasi ini ada busway.

Biasanya saya bersepeda ke Jakarta. 2 atau 3 kali sepekan. Kadang-kadang tiap hari. Jika banyak membawa barang, komputer, buku dll, saya memilih naik transjakarta. Dari Ciputat saya naik APTB jurusan kota. Atau, dari Pasar Jumat naik Kopaja P20 AC.

Di busway ada pengalaman yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan. Yang menyenangkan, misalnya. Naik transjakarta jika dapat tempat duduk, dan bisa tertidur. He he...

Saya akan bercerita tentang dua pengalaman saja.

Pengalaman 1. Terjadi di Halte Busway Sarinah. Saya berada di dalam bus transjakarta, dan ingin keluar di halte Sarinah. Penumpang susah keluar bus karena penumpang di halte yang akan naik bus menutupi jalan keluar bagi penumpang bus yang akan turun di halte sarinah.

Akhirnya, penumpang yang paling depan berhasil membuka jalan hanya untuk satu orang saja jalan bergiliran. Seperti biasa saya malas berebut keluar. Saya memilih antrian paling belakang. Bus dalam keadaan penuh. Bisa dibayangkan: terjadi arus dorongan tubuh yang keras akibat desakan penumpang yang akan turun bus dalam jumlah banyak dalam waktu barengan. Di pintu masuk halte juga terhambat oleh antrian calon penumpang yang akan masuk tadi.

Sebenarnya heran juga, mengapa terjadi desak-desakan di dalam bus. Mestinya mereka antri saja dengan tertib. Sebab, supir transjakarta tak akan berangkat sebelum urusan penumpang turun selesai. Nah, bagi calon penumpang yang akan naik mungkin bisa dimengerti mereka berdesakan: pertama ingin dapat duduk; atau sedang terburu-buru jadi tak ingin naik pada bus berikutnya. (sebenarnya kalah jumlah transjakarta memadai barangkali hal seperti ini tidak terjadi).

Nah... giliran saya turun dari transjakarta, dan menginjaklantai halte busway, baju batik saya nyangkut di tas punggung calon penumpang yang akan naik. Dia berjalan naik, saya berjalan menjauh dari pintu. Sreeeettttt... baju saya bagian belakang robek horisontal, di bagian bawah, sepanjang lebar baju. Lebar sekitar 7 cm, dan panjang lingkaran badan, mungkin 70 cm atau lebih.

Saya pasrah saja. Tidak marah, karena mau dialamatkan ke mana marah ini. Terima saja nasib. Baju itu tidak bisa dipakai lagi.

Tapi, yang membuat saya terharu –atau kagum—adalah calon penumpang lain yang masih dalam antrian. Tentu saja mereka menyaksikan peristiwa ini.. spontan seorang bapak meminta maaf berkali-kali kepada saya sambil bilang kasihan.. kasihan.. Harap dicatat, baju saya tidak nyangkut di tas punggun baapak ini. Dia hanya menyaksikan..

Saya merasakan betapa empati bapak ini besar sekali kepada orang yang dianggapnya mengalami musibah. Padahal, saya tidak terlalu terganggu oleh peristiwa ini. Sebab, saya memegang prinsip: apa pun yang terjadi di luar tubuh saya, saya akan tetap berjalan dengan pikiran dan rasa senang yang saya bangun sepanjang hari..

Saya kagum pada bapak itu. Semoga masih banyak orang Indonesia memiliki empati seperti si bapak.

Pengalaman kedua. Pada suatu hari, saya lupa tanggalnya. Sudah lewat magib, saya di atas transjakarta gandeng tujuan Lebak Bulus. Posisi saya berdiri, pas di sambungan mobil, saya menyender dekat kursi. Maksudnya, kalau penumpang yang duduk di kursi turun, saya bisa cepat dapat duduk. Ini strategi naik transjakarta. He he...

Setelah sekian menit berjalan, betul ada seorang penumpang bangkit dari deretan kursi yang saya incar. Tapi, di dekatnya berdiri pula seorang pria yang seusia saya. Saya siap-siap untuk mengambil kursi itu. Tapi, tak saya sangka, dia menyerahkan kursi kosong itu kepada pria di sebelahnya yang lebih muda dari dia sendiri.

Ya, udah. Saya tetap berdiri sambil berfikir. Baik sekali pria itu. Padahal dia lebih tua, tapi dia menyilakan pria yang lebih muda itu duduk. Dia sendirimemilih berdiri. Saya kagum dengan orang itu.

Setelah sekian menit bis berjalan. Seorang lagi bangkit dari kursi, pas di sebelahpria muda itu duduk. Kali ini posisinya lebih dekat dengan saya. Kalau saya cepat, saya dapat kursi kosong itu, dan duduk melanjutkan perjalanan yang masih jauh itu.

Tapi, saya berubah pikiran. Saya mempersilakan pria tua tadi duduk di kursi kosong, karena saya pikir dia mulia sekali telah mempersilakan orang yang lebih muda duduk, dan dia sendiri memilih berdiri.

Akhirnya dia duduk, persis di sebelah pria muda tadi.

Di halte berikutnya, saya benar-benar dapat tempat duduk, lumayan menghemat tenaga tidak berdiri sepanjang perjalanan ke Lebak Bulus yang masih jauh. Kursi itu persis di hadapan dua pria tadi, yang duduk bersebelahan. Jadi, saya dan dua pria itu berhadap-hadapan.

Lalu saya menyaksikan pemandangan ini: si pria yang lebih tua merangkul pria yang lebih muda, lalu kepalanya dicondongkan kepada si pria muda itu, dan mencium keningnya, tetap sambil merangkul bahu si pria muda..

Dalam hal ini saya bersikap sama dengan Obama, presiden Amerika Serikat. Memberi ruang pasangan sejenis untuk menjalin cinta kasih..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline