Sudah jelas saya tak setuju apa yang dilakukan oleh Florence yang melontarkan kata tak pantas melalui media sosial pada warga Yogya yang saya cintai. Tetapi, memidanakan Florence karena perbuatannya itu rasanya juga tak elok. Mungkin ada dasar hukum yang dipakai, saya tak paham soal ini. Jika tetap menuntut Florence ini sama saja dengan dendam dibayar dendam. Benci dibayar benci. Jika sekelompok orang sakit hati, Florence juga harus sakit hati. Jadi, dalam perkara ini lebih banyak soal perasaan dibandingkan dengan aspek keamanan, ketertiban, dan membahayakan orang lain.
Saya kira, Florence telah melakukan perbuatan bodoh dengan menuliskan hal yang tak pantas di media sosial, yang tentu saja susah diterima oleh (sebagian besar) warga Yogya, mungkin juga warga mana pun di bumi Indonesia ini. Tapi, "perbuatan dalam bentuk tulisan atau perkataan" bagaimana pun bunyinya, seyogianya tidak melanggar hukum, kecuali bernada hasutan dan bertujuan menggalang massa untuk melakukan perbuatan onar yang bisa merugikan pihak lain secara phisik, keamanan, material, dan lainnya sebagainya.
Hukuman yang pantas bagi Florence adalah hukuman sosial, seperti terjadi pada pemilik mulut buruk lainnya. Kita tahu, hal seperti ini sering terjadi di negeri ini. Misalnya, yang terjadi pada orang yang berjanji potong titit jika Jokowi terpilih jadi presiden, atau anggota DPR yang menyebut "sinting" di media sosial. Hukuman itu saja sudah membuat mereka gelisah dan uring-uringan dalam waktu panjang. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, mata orang memandang seperti menyenyek. Hidup menjadi seperti di neraka tanpa api menjilat-jilat.
Saya kira, hukumlah Florence dengan cara begitu pula. Bukan dengan membuinya. Jika dipidanakan, kebebasan kita mengeluarkan kata-kata dan berpendapat --ingat tidak semua kata-kata itu baik dan menyegarkan-- akan berkurang. Orang menjadi takut beropini, takut menulis komentar di media sosial, dan takut jika kata-katanya dituntut, atau orang salah paham, atau orang yang paham tapi tersinggung. Pokoknya, akibatnya tidak baik melarang-melarang seperti itu.
Apalagi Florence sudah meminta maaf. Maafkan saja. Atau boleh juga tidak memaafkan dengan menyerang dia terus melalui media sosial, sampai dia pindah dari Yogya atau sampai dia membuat puisi atau lagu yang memuji-muji Yogyakarta.
Nah, di berita yang saya baca di kompas.com di bawah ini juga janggal. Permintaan maaf Florence dinilai tidak tulus. Setelah membaca bertia itu muncul beberapa pertanyaanya di benak saya:
- Bagaimana mengukur sebuah pernyataan tulus atau tidak tulus? Bukankah tulus itu wilayah hati, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu
- Para penuntut ini meminta florence meminta maaf atau meminta ketulusan? Kalau meminta maaf ukurannya jelas, misalnya: permintaan maaf diucapkan di depan publik, atau di media massa atau dia meminta maaf melalui karangan dalam bentuk artikel, prosa, atau puisi.
- Sebenarnya apa yang diinginkan oleh penuntut ini? sebuah masa depan yang lebih damai atau membenamkan Florence dalam kesengsaraan lebih dalam? (menurut saya, warga Yogya hanya tersinggung tapi tidak jadi sengsara. Tapi Florece saya kira jadi senggara setelah di-bully di media sosial).
Jadi, mestinya, menurut saya, hukuman melalui media sosial sudah cukup atas perbuatan yang dilakukan melalui lisan dan tulisan yang disampaikan melalui media sosial.
Bagaimana menurut Anda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H