Presiden Jokowi sempat begitu entusias ketika kunjungan Raja Salman dari Saudi Arabia yang di sambut meriah dengan upacara karpet merah dan limpahan kemewahan. Ternyata upaya penyambutan dengan upacara kenegaraan dan fasilitas yang luar biasa membuahkan hasil minim jauh dari harapan. Tadinya seperti jutaan saudara-saudara pengusaha dan rakyat Indonesia, kita merasa bangga dan terhormat karena Indonesia di kunjungi Raja Salman untuk berinventasi.
Memang dalam hidup ini, kita selalu perlu berpandangan positif, apalagi ketika mendengar bahwa Saudi Arabia akan berinvestasi Ratusan bahkan seribu Triliun Rupiah untuk membantu pemerintah membangun ekonomi RI. Jujur ketika itu kami sempat bergembira bercampur was-was, apakah kali ini benar bahwa Saudi Arabia akan berinvestasi?Hal ini karena selama catatan empiris puluhan tahun di BKPM, investasi mereka tidaklah demikian ceritanya dan boleh dikatakan minim sekali. Apalagi kali ini mereka juga sibuk fokus dengan misi berjualan IPO Aramco.
Sempat ketika kami di wawancarai oleh CNN Indonesia dan beberapa televisi nasional, komentar kami waktu itu hanya “Allahamdullilah dan Wallahualam, semoga kali ini investasi Saudi Arabia akan terjadi, sehingga rakyat kita dapat sejahtera, sesuai dengan harapan kita semua”. Namun kekecewaan Pak Jokowi baru2 ini mengkonfirmasikan, bahwa ternyata Raja Salman hanya komit $6.5 milyar untuk proyek pengembangan kilang minyak. Keraguan kami selama ini beralasan kuat karena sebagai penggiat investasi selama lebih dari dua dekade, data empiris dan pengalaman lapangan menunjukan “Deal” dengan investor Timur Tengah pada umumnya amat alot dan sulit, walau mereka De facto berlimpah dengan petro dolar. Data statistik dari BKPM pun menunjukan betapa minimnya dana investasi dari saudara-saudara pengusaha timur tengah yang selama ini memuji muji Indonesia sebagai pasar penting dan strategis mengingat penduduk Indonesia yang 250 juta mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia.
Kita semua sekarang kecewa karena rupanya Raja Salman gagal memenuhi janjinya untuk menanamkan puluhan milyar dolar, ternyata hanya $6.5 milyar atau Sembilan puluhan Triliun rupiah di proyek pembangan kilang minyak. Dan yang mengagetkan, adalah mereka malah sudah memberikan komitmen investasi kenegara Cina sebesar $65 milyar dan juga $7 milyar dolar ke Malaysia yang memang selama ini kecipratan investasi petro dolar sejak sebelum PM Najib berkuasa.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa janji-janji rencana investasi Raja Salman ini dengan 10 MOU meleset jauh dari harapan? Berikut adalah analisa kami dengan asumsi, bahwa dimanapun didunia ini, siapapun investor yang berinvestasi, apapun negaranya, rasnya, agamanya, mereka akan selalu mempertimbangkan kondisi Negara tujuan investasi dari berbagai fakor-faktor kunci sebagai pra syarat berinvestasi, antara lain:
1. Faktor Sosial dan Politik
Seberapa jauhkah dukungan masyarakat kepada pemerintah dari perspetif sosial dan politik. Maksudnya “suhu politik dan sosial” yang panas selama ini mawarnai kehidupan seperti phenomena sara dan pepecahan ormas-ormas dari paham ideologi tertentu yang radikal. Kita tidak dapat memungkiri kenyataan, bahwa walau Presiden Jokowi sudah melakukan yang terbaik dengan mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan berinvestasi yang merupakan terobosan politik untuk menarik para investor, terutama membuat belasan paket deregulasi investasi dengan tujuan memudahkan dan menyejukkan kondutifitas investasi serta merangkul erat partai2 politik besar. Namun “keroyokan” para lawan politik dan ormas-ormas radikal yang pemberitaan nya masif di medsos telah membuat kondisi berinvestasi agak terganggu. Baru – baru ini bahkan media asing sempat berkomentar, bahwa pilkada Gubernur DKI dimenangkan oleh calon pasangan dukungan parpol dan ormas bergaris keras. Ini memang terlalu dini persepsi media asing yang memberitakan berita sensitive ini.
Bursa Efek Indonesia sempat terkoreksi side way, namun untung para investor saham kita tanggap menangkalnya. Sadar tidak sadar pemberitaan masif media masa dengan berbagai demonstrasi unjuk kekuatan para ormas telah mempengaruhi persepsi para investor tentang iklim berinvestasi Indonesia. Kebetulan Raja Salman yang berkunjung ke Ibukota pada saat panas2nya suhu politik, beliau dijaga oleh ribuan polisi dan tentara. Mungkinkah ini malah membuat beliau berpikir, mengapa di Cina tidak perlu demikian?
2. Konsistensi Deregulasi
Betul dan bagus sekali pemerintah sudah melakukan terobosan kilat menderegulasi perizinan investasi dengan belasan paket deregulasi. Namun, seberapa konsistennya penerapan deregulasi penanaman modal dalam konteks hubungan antara instansi terkait, terutama seperti BKPM pusat dan kekuasaan pemerintah daerah dengan mandat otonomi daerah? Ini adalah salah satu fakta lapangan dimana kerap kali terjadi benturan kebijakan kebijakan pusat dan otonomi daerah yang terus mempersulit para investor berinvestasi.
3. Penegakan Hukum
Law enforcement selalu menjadi kritik rutin oleh pebisnis asing dan nasional, dari jaman rejim Soeharto sampai sekarang. Kasus peradilan penistaan agama Ahok menjadi saksi lemahnya penegakan hukum yang terkesan rimba ketika setiap berlangsungnya peradilan, ormas2 yang berkepentingan seakan bebas mengintimidasi hukum kita.
Seberapa jauhkah ketegasan pemerintah dalam hal menerapkan Law Enforcement yang bersifat pidana maupun perdata termasuk isu bila terjadi perselisihan antra perusahaan asing dan nasional? Kasus Freeport adalah contoh yang masih segar dimana sempat ramai diberitakan media asing bahwa kasus hukum Freeport timbul dengan adanya UU ESDM baru tentang IUPK yang tidak mengacu kepada Master Agreement yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sebelumnya.
4. Kasus Korupsi
Seberapa besar kemajuan pemerintah kita menangani masalah korupsi? Ini faktor yang amat penting, mengingat baru-baru ini ketika euphoria investasi Raja Salman yang memberi sinyal positif berinvestasi di indonesia telah membuat para “koruptor” yang selama ini tidak tersentuh atau belum tersentuh, sudah pada pasang kuda-kuda mencari peluang menjadi broker investasi. Ini memang ramai terjadi dilapangan ketika para “Broker yang Deal dengan Investasi Arab”.
Mereka sudah memasang tarif broker fee, bahkan mark up nilai proyek yang tinggi ala “koruptor” termasuk pra syarat saham kosong atau up front fee dengan “dalih titipan para penguasa”. Investor pun merasa terdemotivasi dan amat resah dengan hal-hal begini yang memang sudah membudaya sejak dahulu. Faktor ini akan membuat para investor berpikir ulang dengan asumsi sebegitu parahnya masalah korupsi di negeri kita yang terkesan belum teratasi walau KPK dengan galaknya beraksi.
Persepsi ini masih melekat dibenak para investor yang mungkin membayangkan kekeuatirannya berinvestasi dikondisi masih suburnya lahan korupsi. Apalagi dengan merebaknya baru2 ini kasus2 mega korupsi seperti proyek E-KTP, investasi 34 pembangkit listrik yang mangkrak, kasus papa minta saham PT. Freeport, BLBI dan proyek lain-lain. Potensi korupsi bukan saja terefleksi di bursa investasi proyek-proyek infrastruktur tapi disegala industri, dimana para broker investasi memasang broker “Fee” yang tinggi dan memark up nilai proyek .
Kasihan Pak Jokowi yang sudah menyarankan kepada para menterinya membantu para investor, tapi pada kenyataanya di lapangan para “broker” yang mengaku dekat dengan para menteri malah kerap berperan menjadi deal maker investasi menekan para investor.
Terkadang, mereka secara halus “membuat MOU” meminta sebagian sukses fee dimuka dengan dalih “biaya konsultan” sebelum ketemu penguasa. Indonesia masih bertengger di ranking 90 untuk Index International Transparancy jauh dibandingkan dengan tetangga kita Malaysia yang di 55, bahkan kita setingkat dibawah Negara Afrika Zambia, yang korup di 89. Memang untuk konteks pasar modal kita maju sekali dan berprestasi di Asia, namun untuk faktor Foreign Direct Investment, ini kenyataan pil pahit kita.
5. Persaingan Negara Tujuan Investasi
Faktor persaingan investasi di negara-negara Asean dan Global juga menjadi pertimbangan para investor, walau Indonesia De facto adalah salah satu pasar daerah tujuan investasi yang amat atraktif. Namun tidak berarti para investor ingin menaruh“telurnya di satu keranjang”. Mungkin ini yang menjadi pilihan Raja Salman ketika memutuskan menginvestasikan $65 milyar di Cina, karena mempertimbangkan berbagai faktor2 kunci, apalagi beliau juga mendapat deal khusus dengan Cina dalam kaitan IPO perusahaan minyaknya “Aramco”. Jadi kalau beliau ternyata hanya mengucurkan $6,5 milyar untuk Indonesia, itu sah2 saja karena beliau tentu sudah mempertimbangkan masalah-masalah yang terasosiasi dengan resiko-resiko investasinya di Indonesia.
Mengapa demikian? Mungkin jawabannya ada di 5 faktor kunci kriteria investasi yang di uraikan di atas. Silahkan disimak dan memakluminya. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa harapan di atas kertas Indonesia yang walaupun sudah meningkat peringkat investasi ratingnya oleh Standard & Poor’s dan telah didaulat sebagai negara yang terkaya sumber alamnya di ASEAN dengan pangsa pasar 250 juta, dan pertumbuhan kelas sosial menengah tercepat, ternyata tidak selalu menjamin sukses akhir tantangan sebuat investasi.
Kita masih harus bekerja keras meyakinkan para investor, bukan saja investor asing tapi nasional juga, karena mereka itu adalah juga komponen penting penggerak roda ekonomi berinvestasi. Kita selalu butuh para investor untuk memompa jantung ekonomi kita. Sementara para komponen bangsa yang tidak kalah pentingnya, baik itu partai2 politik , ormas2, tokoh2 agama, mohon kerjasamanya untuk memelihara kondusifitas iklim berinvestasi di Indonesia.
Betapa besar kerugian yang NKRI derita akibat 4 bulan konflik sosial dan politik. Juga para kepala daerah yang sudah memenangkan pilkada, dengan dalih otonomi daerah dukunglah pemerintah dengan Perda2 yang produktif menunjang investasi daerah, jangan lagi mengeluarkan perda2 kontra produktif mengucilkan daerah2 anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H