Lihat ke Halaman Asli

Membeli Penolakan

Diperbarui: 23 Juli 2015   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jika Anda masih merasa terhina, kecewa, stres, sedih saat mengalami penolakan, berarti jiwa Anda masih miskin (serba merasa kekurangan). Jiwa yang miskin selalu merasa butuh untuk diperhatikan, dikasihani, dibantu sampai-sampai butuh ditopang semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan akan sanjungan dan pujian. Mereka takut dan gentar ketika mendapati realita hidup tak seramah impian-impian dalam catatan hariannya.

Banyak faktor pemicu seseorang berjiwa miskin, lemah dan penggalau. Kita bisa lihat realita dalam masyarakat, yang menempatkan penerimaan, penghargaan serta prestise sebagai "dewa keagungan". Sanjung puji bagi para juara, ranking kelas, cum laude, dan mereka yang memiliki prestasi lainnya. 

Sebaliknya hinaan, pelecehan, dan penolakan bagi mereka yang kalah, juru kunci, tinggal kelas, mahasiswa uzur dengan IPK satu koma atau yg DO, pengangguran dan lain sebagainya. Tidak ada tempat bagi orang-orang yang tertolak dan kalah. Keberadaan mereka dianggap sebagai pecundang.

Betapa merah padam muka sangking  malunya orang tua ketika menerima rapor mendapati nilai anaknya kebakaran banyak angka merah. Anak pun dikarbit harus ikut les mapel ini itu sampai mendatangkan guru privat ke rumah. Banyak uang dikeluarkan untuk menebus rasa malu para orang tua jika anaknya gagal mendapat ranking atau tidak tembus perguruan tinggi negeri. Anak-anak sejak dini dicekoki untuk membuang jauh-jauh kegagalan dan menolak penolakan karena takut dicap bodoh. Kompensasinya anak-anak manja itu difasilitasi dengan gadget, kendaraan dan fasilitas nyaman lainnya. Jadilah mereka generasi karbitan dan manja.

Anak pintar selalu diprestisekan dengan mereka yang jadi bintang kelas, dapat angka 9 & 10 mapel Matematika atau Bahasa Inggris, dan dapat nilai terbaik di sekolahnya. Sedangkan anak bodoh diidentikan dengan nilai rapor yang merah, nakal, suka tauran, pembolos, dan para orang tua merasa dapat kutukan dosa warisan dari kebodohan anaknya tersebut.

Sistem kurikulum bangsa kita, yang mengklasifikasikan anak pintar dengan angka-angka 9 & 10. Kapasitas kecerdasan dan integritas mereka hanya diwakilkan dengan angka. Padahal ketika mengarungi kerasnya kehidupan mereka tidak akan memakai angka-angka nilai yang nyaris sempurna. Tapi skil, keterampilan, pengalaman dan sikap mental yang kuat serta produktivitas yang tinggi. Siapapun tau bahwa kesuksesan seseorang 80% lebih dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan spiritual, sedangkan kecerdasan intelegensi kecil sekali andilnya bagi keberhasilan seseorang. Tapi nyatanya sekolah-sekokah elit, lembaga bimbel mahal dan perguruan tinggi negeri dijejali penuh sesak dengan harapan anak-anak mereka berotak encer seperti Einsten.

 

Ribuan pengangguran intelektual membebani ekonomi nasional. Kemana-mana bawa map berisi ijazah mengetuk dari pintu ke pintu berburu lowongan (mungkin ini dulu pengalaman Anda juga). Mereka terdidik dengan nilai bagus-bagus tapi minus keterampilan dan pengalaman. Tapi sayangnya kampus tidak cukup membekali mereka untuk mampu bertarung di luar sana. Pemerintah pun mustahil menangguk mereka semua lalu dikasih seragam PNS. Perusahaan nasional atau multinasional membuka kesempatan kerja yang terbatas.

Generasi-generasi manja itu sangat gengsian untuk merintis dari bawah sebagai wiraswasta. Berani tanpa malu menampung rupiah dari orang tua. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi telenopela seperti mereka?

Jiwa dan pikiran anak-anak bangsa ini dari tahun ke tahun makin terlatih untuk takut atas kegagalan dan harus terus mendapat pujian karena prestasinya, kalau tidak mau dicaci maki karena dicap anak bodoh. Anak-anak bangsa tumbuh dengan jiwa yang miskin haus pujian dan penghargaan, menjadi oportunis dan skeptis plus apatis. Setali mata uang dengan tabiat generasi sebelumnya yang menyogok masa depan anak mereka dengan kenyamanan fasilitas dan kapan perlu membeli prestise yang hanyalah berupa selembar kertas bernama ijazah dengan segepok rupiah. 

Salah asuhan sejak kecil ini membentuk mental mereka begitu rapuh untuk mampu menahan hempasan badai kehidupan. Orang tua - orang tua yang berjiwa miskin terus melahirkan generasi yang juga berjiwa miskin. Kita bisa lihat bangsa ini walau sudah 70 tahun merdeka tetap saja bermental miskin dan hanya jadi kacung di negerinya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline