Lihat ke Halaman Asli

PON Riau Bermasalah, KONI dan Kemenpora Paling Bertanggungjawab

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Beginilah ketika kepentingan "politik dan kekuasaan" yang mengatur "nasib" olahraga di tanah air. Kekacauan olahraga kita berawal dari carut-marutnya konflik PSSI (sebagai induk organisasi olahraga di Indonesia) yang disusupi kepentingan politik dan kekuasaan. PSSI mulai tidak beres sejak NH, sang politikus partai beringin yang pernah dipenjara kasus korupsi tapi tetap menjabat ketua PSSI, tidak hanya nol besar prestasi, tapi juga menggiring PSSI sebagai "sapi perahan" untuk mendulang uang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan golongan tertentu.

Kemudian warna politik merasuk dalam tubuh KONI, yang mana ketua baru sekarang terpilih dengan beking kekuatan partai politik yang sama. Tanda-tanda kehancuran olahraga Indonesia dimulai dari Olimpiade London 2012 yang lalu, di mana Indonesia untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir gagal meraih mendali emas. Terputus sudah tradisi emas olimpiade sejak kepengurusan Ketua KONI Tono Suratman.

Ditambah makin berlarut-larutnya masalah internal di sejumlah induk organisasi seperti yang melanda PBBSI, minim regenerasi dan miskin prestasi. Yang paling mentereng adalah ikut campurnya KONI dalam urusan rumah tangga PSSI, yang dalam aturan mainnya bukanlah wewenang KONI yang menentukan tim peserta sepakbola peserta PON. Tapi nyatanya sang ketua KONI terang-terangan ikut campur dalam urusan PSSI dan berkoalisi dengan BAORI untuk membatalkan keikutsertaan Pengda PSSI sejumlah provinsi yang menjadi peserta resmi PON. Puncak polemik itu, PSSI menarik semua wasit dan tim opesial pertandingan dari PON, dengan kata lain PSSI memboikot PON Riau.

Jika PSSI memboikot PON, pastinya legitimasi pertandingan dipertanyakan. Namun dengan sigapnya sang penyelenggara PON meminta bantuan kubu KPSI untuk menyediakan wasit dan asisten pertandingan. Tentu sangat lucu sekali ada wasit tanpa pengesahan PSSI bisa memimpin pertandingan selevel PON. Lagi-lagi, KONI dan komplotannya dari KPSI memutarbalikan fakta yang sebenarnya. Sungguh miris, ajang setinggi PON masih saja disusupi kepentingan politik dan kekuasaan.

Paling naas dari penyelenggaraan PON Riau tahun ini adalah persiapan yang amburadul. Mulai dari tidak rampungnya pengerjaan sejumlah venue olahraga, wisma atlit yang belum bisa ditempati walau pertandingan PON sudah dimulai, sampai ambruknya canopi veneu tenis, bocornya gedung pertandiangan di veneu bliyiar, benar-benar miris. Bahkan, menjelang pembukaan PON 11 September, stadion utama Riau masih belum rampung pengerjaan pintu masuk utama, dengan belum terpasangnya kerami lantai dan masih ada besi-besi penyangga yang belum dirapikan.

Ketidaksiapan Riau dalam persiapan dan penyelenggaraan PON sangat terkait dengan skandal korupsi pencairan dana PON yang dilakukan oleh anggota DPRD Riau, Pemrov dan kontraktor, bahkan menyeret sejumlah anggota DPR Senayan dan menteri. Skandal ini harus diusut tuntas, pasti ada hubungannya juga dengan KONI dan Kemenpora. Kemenpora di era AM sudah berubah status dari kementerian peningkatan prestasi olahraga nasional menjadi ladang mencari duit bagi sejumlah elit politik dan parpol. Mulai dari skandal korupsi wisma atlit Jakabaring, Palembang sampai kasus mega korupsi Hambalang.

Efek dari semua itu adalah makin tenggelamnya prestasi olahraga di Indonesia. Beginilah ketika olahraga diurus oleh mereka yang haus kekuasaan dan uang. Pelan tapi pasti prestasi olahraga Indonesia akan tenggelam dan binasa.

"Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya," petikan Hadis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline