Lihat ke Halaman Asli

Joni Ihsan

joni ihsan

Assessment Resiko Residivis Indonesia (RRI), Assessment Kebutuhan (Criminogenic) dan Assessment 5 Dimensi sebagai Instrumen Pencegahan Pengulangan Tindak Pidana

Diperbarui: 31 Desember 2020   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada dasarnya, assessment merupakan istilah lain dari kata penilaian, istilah Assessment atau penilaian sendiri sangat dekat dengan istilah evaluasi yang merupakan metode untuk mengetahui hasil dari sesuatu yang akan dinilai. Assessment atau penilaian ini bisa disebut sebagai penerapan dan penggunaan berbagai cara dan alat untuk memperoleh baragam informasi. 

Informasi yang dimaksud tergantung dari siapa objek yang akan kita assessment, misalnya assessment kesehatan objeknya adalah pasien, maka informasi yang diinginkan adalah informasi mengenai riwayat kesehatan penderita, riwayat kesehatan keluarga penderita atau bahkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit keturunan.

Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan dilaksanakan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (disingkat WBP) dan klien pemasyarakatan yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (kecuali tindak pidana asusila, KDRT, korupsi dan terorisme karena diperlukan assessment lanjutan dengan menggunakan instrumen asessment yang khusus agar validitas penilaian lebih dapat dipertanggungjawabkan). Instrumen Assessment Risiko Residivis Indonesia (RR-I), Assessment Kebutuhan (criminogenic) dan Assessment 5 Dimensi Indonesia hanya diperuntukkan bagi WBP/klien pemasyarakatan sebagai objek penilaiannya.

Negara Indonesia melalui Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Resiko dan Assessment Kebutuhan Bagi WBP dan Klien Pemasyarakatan, Assessment diharapkan dapat memudahkan PK dalam melaksanakan tugas pembimbingan sehingga dapat mencegah pengulangan tindak pidana yang menjadi tolok ukur berhasil tidaknya bimbingan yang dilaksanakan oleh Bapas sehingga membantu percepatan revitalisasi pemasyarakatan.

Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM bertekad melakukan akselerasi (percepatan) revitalisasi pemasyarakatan. 

Dalam peraturan Menkumham tersebut diatas, revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan adalah upaya mengoptimalkan penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, WBP, dan klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti. Revitalisasi meliputi pelayanan tahanan, pembinaan WBP, pembinaan klien, dan pengelolaan barang rampasan dan benda sitaan.

Dalam upaya revitalisasi pemasyarakatan, jajaran petugas pemasyarakatan banyak menemukan tantangan dalam rangka pembinaan WBP dan pembimbingan klien pemasyarakatan. Tantangan tersebut tidak terkecuali dirasakan oleh Balai Pemasyarakatan. 

Salah satu tantangan yang dirasakan oleh PK adalah bagaimana melakukan assessment yang sesuai standar penilaian, baik itu assessment resiko maupun assessment criminogenic. 

Ketidakcakapan seorang PK dalam melakukan kegiatan assessement resiko maka akan berdampak pada tingginya tingkat pengulangan tindak pidana, begitu juga dengan assessment criminogenic yang kurang tepat akan berakibat rencana pembimbingan (case plan) yang tertulis dalam rekomendasi litmas tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Assessment resiko yang dilakukan oleh PK dapat mengurangi tingkat pengulangan pidana dengan cara mengetahui dengan detail WBP dan klien mana saja yang mempunyai potensi besar akan mengulangi tindak pidana, yang dampak jangka panjangnya akan mengurangi over kapasitas WBP di Lapas yang berarti secara tidak langsung PK mengurangi beban anggaran Negara untuk mengurusi WBP dan Klien Pemasyarakatan.

PK harus bisa mencari tahu siapa saja yang paling berpotensi untuk mengulangi tindak pidana, karena kepada merekalah sebenarnya focus pekerjaan yang prioritas, dengan merekalah PK bekerja, dengan demikian PK tidak akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan anggaran bekerja hanya untuk WBP atau Klien Pemasyarakatan yang berpotensi resiko rendah melakukan pengulangan tindak pidana, tetapi PK akan lebih fokus bekerja untuk mereka yang berpotensi resiko tinggi mengulangi tindak pidana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline