Lihat ke Halaman Asli

Pesta Tahunan Sebagai Representasi Utuh Potret dan Bingkai Kesatuan Nilai-nilai Luhur Masyarakat Karo

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Momentum "kerja tahun" atau yang lebih akrabnya pesta tahunan di Limang, Kabupaten Karo, yang sengaja kami hadiri tanggal 28 Juni lalu, kebetulan seorang penganjur yang sudah cukup kami kenal, keluarganya berasal dari sana. Pesta tahunan kali ini sepertinya mendapat perhatian lebih, teramat ramai -cukup mengejutkan untuk sebuah desa- mungkin karena perkolong-kolong (Keleng Ginting) yang dihadirkan panitia termasuk memiliki nama besar di jagat hiburan masyrakat Karo. Banyak hal yang bisa dipetik menjadi pelajaran dalam peristiwa pesta tahunan ini. Catatan pula bahwa perayaan pesta tahunan dirayakan berbeda waktu untuk setiap daerah. Tergantung jadwal dan kebiasaan setempat.

Pertama : Bahwa pesta tahunan/kerja tahun merupakan bentuk ucapan syukur kepada Sang Khalik, Sang Pemilik Kepastian, untuk segala nikmat hidup yang diberikan-Nya, kekayaan alam yang melimpah yang menjadi sumber kehidupan. Pada sisi ini terlihat jelas keyakinan kuat untuk membangun relasi yang harmonis antara manusia dengan alamnya, sehingga segala hasil yang diberikannya sebagai sumber hidup disyukuri sedemikian rupa. Disini dengan cermat kita mengamati relasi harmonis antara Khalik, Manusia dan Alam semesta. Khalik sebagai penguasa jagat/pemilik kuasa dan keputusan, Manusia sebagai tuan rumah yang mengelola dan menjaga siklus hidup senantiasa berlangsung baik, dan Alam semesta akan bekerja secara alami menyediakan segala keperluan manusia sesuai dengan kebutuhannya. Barang kali inilah jua yang menginspirasi pola relasi masyarakat Karo yang lebih dikenal dengan rakut sitelu.

Kedua : Pesta tahunan/kerja tahun lazimnya dirayakan dengan meriah dikerjakan secara bergotong-royong, melibatkan semua pihak bahkan para perantau. Mereka menyempatkan pulang/mudik untuk menyaksikan pesta tahunan ini.

Meski tidak lama menyaksikan pertunjukan yang digelar panitia -perlu diingat bahwa pertunjukan berlangsung sampai pagi selama 2 malam berturut-turut- : termasuk tarian lima serangkai, masih sempat kami saksikan walau hajatan telah digelar pengumpulan pembiayaan dengan mengedarkan semacam kotak kontribusi masih berjalan. Para pengunjung baik perantau, tamu, undangan bahkan keluarga dari kampung yang jauh sekalipun turut memberikan sumbangan demi kemeriahan pesta ini.

Ketiga : Pesta tahunan merupakan peristiwa yang mampu membingkai gambaran masyarakat yang terbuka dan bersahabat. Agak terkejut juga menyaksikan bahwa setiap kujungan kerumah-rumah maka dengan sangat terbuka tuan rumah akan menjamu tamunya dengan kuliner meriah pula. Sikap terbuka ini terlihat jelas dan itu berlaku meluas, berlaku untuk seluruh wilayah Karo meski pesta tahunan mereka dilaksanakan berbeda untuk setiap wilayah, namun sikap yang sama akan mereka pertunjukkan bagi setiap tetamu.

Keempat : Pesta tahunan juga mampu membentuk atmosfir yang berbeda dari kesehariannya, wajah-wajah massa-rakyat yang ramah seperti tanpa beban, penuh gairah, bersemangat, seakan hari esok tidak akan ada persoalan. Doa-doa dipanjatkan atas keberkahan sepanjang tahun yang telah diterima, pengharapan penuh keyakinan bahwa hari esok akan semakin baik dan segala petaka akan dijauhkan, segala problematik yang rumit pasti bisa dilalui bersama.

Diskusi dengan beberapa penganjur-pun mulai kami gelar, dipetik hikmah dan kami bertemu pada satu simpulan bahwa pesta tahunan merupakan figura yang membingkai praktek-praktek berkehidupan penuh nilai-nilai kearifan, kebijaksanaan, kebajikan, warisan leluhur yang kaya akan nilai perjuangan, pengharapan, pergaulan hidup sebagai masssa-rakyat yang egaliter, potret massa-rakyat transenden yang mengikhlaskan hidup sepenuhnya kepada ke-Agung-an Sang Khalik namun tetap berupaya sekuat tenaga demi perbaikan hidup bersama, keteguhan kuat menjaga harmonisasi relasi Manusia, Khalik dan Alam tempat hidupnya, penghormatan tanpa tujuan memberhalakan kepada para leluhur, dan keterbukaan yang dinamis namun tetap berpijak pada nilai-nilai luhur warisan leluhur. Inikah ciri massa-rakyat yang berkemakmuran sosial itu ? Ataukah nilai-nilai ini kelak akan tergerus modernisasi.

Barangkali ini belumlah lengkap sebagai pengamatan singkat atas kunjungan 12 jam lebih kurang ke Desa Limang. Harap kami agar setiap kita bersegera dan penuh serius untuk melakukan pengamatan mendalam atas budaya massa-rakyat kita yang teramat kaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline