Lihat ke Halaman Asli

吳明源 (Jonathan Calvin)

Pencerita berdasar fakta

Harapan Baru Pasangan Sesama Jenis

Diperbarui: 26 November 2018   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : istock

Yap, kabar gembira tersebut datang dari peneliti dari China tepatnya sekelompok peneliti dari Chinese Academy of Sciences (CAS) yang menerbitkan hasil penelitiannya di Jurnal Cell Stem Cell. Dalam jurnal tersebut, para peneliti menggunakan sel induk (stem cell) dan perubahan pada genetika melalui editing. 

Hasil pertemuan 2 gen betina pada hewan percobaan tikus menghasilkan 2 dosin (sekitar 20 buah) anak. Penemuan tersebut dirasa sangat istimewa dikarenakan proses pembuahan dari 2 induk dengan jenis kelamin yang sama telah berhasil dilakukan pada hewan jenis reptil, amphibi, dan ikan.

sumber foto :picturesboss

Pada ikan, perubahan jenis kelamin secara langsung dapat mengambil contoh Ikan Kobudai dan fenomena ini disebut Sequential Hermaphrodism. Setidaknya hingga saat ini, telah tercatat 27 kelompok ikan yang dapat melakukan fenomena tersebut. Adapun fenomena tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu perubahan dari jenis kelamin wanita ke pria disebut protogyny; dari jenis kelamin pria ke wanita disebut protandry; perubahan dua arah antar 2 jenis kelamin (perubahan jenis kelamin laki-laki ke perempuan dan sebaliknya yang dapat kembali ke jenis kelamin asal). Perubahan sel kelamin sangat bergantung pada sistem perkawinan dan struktur sosial. 

Fenomena protogyny lebih sering terjadi pada ikan dibandingkan protandry dikarenakan sistem perkawinan dilakukan ketika ikan berukuran besar dan berkelamin laki-laki. Perubahan sel kelamin pada ikan bersifat adaptif, hal ini sangat dipengaruhi jumlah keturunan yang dihasilkan. Apabila jumlah keturunan yang ingin dihasilkan besar, maka ikan yang memiliki jenis kelamin wanita semasa kecil akan mengubah jenis kelamin menjadi laki-laki

Berbeda dengan motif perubahan ikan yang dipengaruhi oleh sistem kawinnya, perubahan sel kelamin pada anak reptil disebabkan oleh perubahan suhu pada lingkungan sekitarnya pada batas tertentu minimal 32OC yang artinya ketika mencapai suhu tersebut, keturunan reptil akan mengalami perubahan sel kelamin. Pada hasil penelitian yang dilakukan Dr. Clare Holleley, peneliti dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) yang membuktikan perubahan sel kelamin pada 100% anak Kadal yang baru dilahirkan apabila suhu lingkungan sekitarnya mencapai 36 OC. 

Berbeda dengan kadal yang juga sesama reptil dan juga partenogenesis (pertumbuhan dan perkembangan embrio tanpa fertilisasi oleh pejantan), komodo juga memiliki kemampuan yang sama hanya saja, komodo mampu melakukan secara aseksual (reproduksi yang tidak melibatkan meiosis (salah satu cara sel untuk mengalami pembelahan dimana jumlah sel anaknya 4)) sedangkan kadal tidak.

Bagaimana dengan mamalia?

Namun, bagi mamalia kekurangan material genetik penyusun dapat berakibat abnormalitas pada keturunan yang dihasilkan. Hal inilah yang cukup menjadi tantangan dikarenakan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti Jepang kurang berhasil akibat keturunan yang dihasilkan cacat baik itu ukuran tubuh lebih kecil dari hasil pembuahan normal ataupun memiliki pertumbuhan motorik yang lebih buruk. 

Namun, menurut para peneliti dari China, metode yang digunakan oleh peneliti Jepang dalam penelitian sebelumnya terkesan rumit dan sulit untuk diadaptasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, para peneliti China akhirnya mengembangkan metode yang disebut Haploid Embryonic Stem Cells (ESCs). Dalam metode tersebut, DNA yang memuat informasi genetik tidak lengkap akan dihapus dan sel kelamin yang haploid akan disuntikkan ke indung telur induk betina lainnya. Sejatinya, langkah yang sama juga dilakukan pada induk laki-laki sesama jenis, namun dari 1023 embrio (hasil persilangan 2 sel kelamin) yang dihasilkan hanya 12 yang membuahkan hasil namun seluruh anak tidak dapat hidup lebih dari 48 jam.

Berbicara tentang mamalia tidak bisa dilepaskan dari manusia karena manusia pun juga tremasuk di dalamnya. Namun menurut Li Wei, salah satu  anggota peneliti Chinese Academy of Sciences (CAS), metode tersebut masih sulit diterapkan pada manusia dikarenakan masing-masing spesies memiliki bentuk genetika yang berbeda-beda dan untuk menganalisanya dibutuhkan waktu. 

Hanya saja, tidak menutup kemungkinan hal itu bisa terjadi namun bukan untuk mendukung hubungan sesama jenis antar manusia, melainkan demi kepentingan kesehatan manusia semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline