Di masa New Normal, jarak yang memisahkan hubungan guru dengan siswa dalam kegiatan belajar mengajar menjadi semakin lebar. Hal ini terjadi lantaran pandemi COVID-19 memaksa guru diperlukan untuk dapat mengadakan pembelajaran jarak jauh dengan siswa, maka siswa harus belajar di rumahnya sendiri. Pada kasus ini, maka kegiatan pembelajaran kehilangan faktor pendukung berupa fasilitas penyokong serta otoritas langsung seorang guru atas ruang kelas.
Perubahan keadaan yang sedemikian rupa menghadirkan tantangan yang sangat besar bagi penerapan kurikulum yang telah ada.
Tujuan dari penerapan penilaian yang terdapat dalam kurikulum 2013 yang masih berlaku pada awal pandemi sampai saat ini meliputi tiga kompetensi, yaitu pengetahuan; nilai sikap, dan nilai keterampilan. Kompetensi inilah yang menjadi hambatan dalam proses pembelajaran online, karena tidak mudah dilakukan jika tidak secara tatap muka terlebih lagi jika memperhitungkan kemampuan guru dan murid untuk beradaptasi yang kurang maksimal.
Agar dapat mencapai tujuan pembelajaran, maka sangatlah diperlukan ikatan yang kuat dan positif antara siswa dengan materi dan sarana pembelajaran agar dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk evaluasi-evaluasi terhadap kriteria kompetensi yang telah disebutkan.
Namun, dengan kendala-kendala yang ditimbulkan perubahan kebijakan belajar mengajar secara tiba-tiba, siswa dan guru dihadapkan pada keadaan yang benar-benar baru. Apabila sebelum pandemi penerapan sistem pembelajaran masih sering bergantung pada pada instruksi dan pengawasan guru, peralihan kepada pembelajaran daring dapat menimbulkan alienasi pada siswa akibat hilangnya sosok pengarah dalam pembelajaran.
Adapun, alienasi menurut KBBI didefinikan sebagai keadaan merasa terasing (terisolasi). Keadaan ini juga mempunyai kaitan dengan teori alienasi Marx yang menyoroti keterasingan berupa ketidaktahuan akan kemana hasil produksinya pergi ataupun barang yang ia konsumsi yang diproduksi seorang pekerja sepertinya. Oleh karena itu, ini dapat dihubungkan dengan situasi mahasiswa yang terdiskoneksi dengan mengapa ia harus melaksanakan tugas-tugas yang dirasa tidak mempunyai manfaat baik bagi dirinya sendiri maupun pada orang lain.
Dengan demikian, perlu ditelaah mengapa siswa merasa lebih teralienasi dengan keadaan pembelajaran. Berdasarkan survei yang dilakukan Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi, sebanyak 50,9 persen guru meyakini peserta didiknya mengalami penurunan capaian belajar di beberapa mata pelajaran dan bahkan 37,0 persen guru meyakini peserta didiknya menurun capaian belajarnya di seluruh mata pelajaran, dan hanya 12,1 persen guru yang meyakini capaian belajar peserta didiknya tidak menurun di masa pandemi.
Hal ini menandakan siswa tidak puas terhadap cara pembelajaran yang ada serta kerjasama tidak terjalin dengan baik antara pengajar dan yang murid yang diajar. Dengan demikian, perlu dianalisis secara sosiologis bagaimana permasalahan tersebut terbentuk dari perspektif teori sosiologi kurikulum. Adapun, salah satu teori yang dapat digunakan untuk membantu memahami persoalan ini adalah penerapan teori fungsional dalam kurikulum, dalam hal ini yang dikemukakan Talcott Parsons.
Parsons, dengan analisis fungsi masyarakatnya menyoroti peran sekolah dalam menjaga funsi integration dalam masyarakat. Konformitas yang ditekankan kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan memungkinkan individu belajar bekerjasama demi menghindari konsekuensi serta menyeleasaikan suatu permasalahan. Selain itu, Parsons juga mengungkapkan bahwa prestasi terletak pada akses dan kesempatan yang adil. Sebuah sistem pendidikan akan mengalami gangguan fungsi jika individu tidak diberi peran sesuai.
Dengan demikian, menurut teori tersebut dapat disoroti bahwa pembelajaran online menimbulkan permasalahan pada konformitas peserta didik berhubung melemahnya otoritas guru atas perilaku peserta didik dan bertambahnya kebebasan peserta didik untuk memilih mengikuti pembelajaran atau mengabaikannya. Selain itu, jarak yang jauh dan virtual membatasi relasi psikologis antara guru dan peserta didik sehingga sedikit banyak mempengaruhi kemauan pribadi peserta didik mengikuti pembelajaran dengan antusias.
Serta, tugas-tugas yang diberikan seringkali rentan memberatkan siswa lantaran jadwal yang lebih ketat serta kondisi yang terkadang kurang memadai untuk mengerjakan tugas. Tanpa bertemunya guru dan peserta didik maka komunikasi menjadi lebih kurang nyaman untuk dilaksanakan yang dapat menuntun pada rasa frustasi dan tertekan pada siswa karena sungkan meminta bantuan ataupun instruksi baik pada guru maupun teman.