Lihat ke Halaman Asli

Covid-19 dan Melebarnya Celah-celah Fungsional dalam Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 27 Desember 2021   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Di dalam hidup kita, tentu kebanyakan dari kita telah dibiasakan untuk melaksanakan "peran" masing-masing dalam kelompok dimana kita terlibat. Selain itu, peran kita seringkali ditentukan guna mencapai suatu tujuan yang kelompok kita sepakati. Contoh dari konsep ini dapat dilihat dalam tugas-tugas sederhana yang ditentukan sebuah keluarga untuk anaknya seperti mencuci piring sehabis makan, membantu membersihkan rumah, mengawasi keadaan rumah ketika akan pergi keluar, dan sebagainya.

Secara sadar maupun tidak, kesemua sistem ini merupakan bagian yang berusaha dijelaskan paradigma struktural fungsional dalam ilmu sosiologi. Secara singkat, paradigma ini melihat bukan hanya keluarga, namun masyarakat yang lebih luas sebagai sebuah sistem yang disusun sedemikian rupa guna mencapai suatu tujuan. Setiap unit yang terlibat telah diberikan peran-peran yang berbeda guna mencapai tujuan. Dalam organisasi yang lebih kompleks maka dapat ditemukan juga peran yang lebih terspesialisasi dan saling tergantung.

Pendidikan merupakan salah satu wadah bagi individu untuk mempersiapkan dirinya guna mengemban tanggung jawab pribadi serta mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan masyarakat yang sebenarnya. Dalam institusi pendidikan, melalui sosialisasi maka siswa dikenalkan serta dilatih agar terbiasa pada norma yang sederhana sampai yang lebih kompleks seiiring waktu. Selain itu, siswa juga didorong agar sedini mungkin menemukan serta    mengembangkan  keahlian-keahlian yang menjadi bakat mereka.

Adapun, sejak pandemi COVID-19 menyerang Indonesia maka sistem pendidikan kita juga mengalami pukulan yang besar akibat pembatasan yang dilakukan pada pembelajaran tatap muka dan permasalahan tenaga kerja. Mungkin saja penurunan kualitas pendidikan saat ini hanya dapat dilihat dari segi kuantitatif, akan tetapi untuk mengidentifikasi penurunan kualitas pendidikan di Indonesia diperlukan pengamatan dari bagaimana hasil perbandingan keadaan saat ini dengan situasi yang ideal untuk pendidikan.

Apabila penurunan kinerja ini tidak kunjung reda, maka dikhawatirkan fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam institusi pendidikan akan semakin tidak terlaksna dengan baik. Dengan begitu, perlu diselidiki bagaimana pengaruh pandemi dapat merusak struktur-struktur dalam pendidikan, Setelah itu, maka kita perlu mencari solusi untuk meminimalisir atau menghilangkan penyebab-penyebab dari kerusakan tersebut. Maka, kita perlu menggunakan paradigma struktural fungsional dalam mengidentifikasi masalah itu.

Pertama-tama, Emile Durkheim (1893) menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang terindustrialisasi (terutama dalam tahap kapitalisme maju) individu ditempatkan dalam masyarakat sesuai dengan prestasi dan diberi imbalan yang sesuai dengan keahliannya dalam sistem pembagian kerja yang kompleks. Dengan begitu, maka terbukanya sistem pembagian kerja yang kompleks memerlukan pengetahuan yang lebih dalam mengenai hal-hal dalam masyarakat modern sebagai dasar untuk mengevaluasi dimana kelebihan  seorang individu.

Maka, dengan demikian sekolah sebagai institusi pendidikan berperan untuk membantu terciptanya individu yang mempunyai keahlian yang cukup di bidang tertentu. Lebih lanjut lagi, sekolah juga terikat oleh tujuan pendidikan nasonal sebagai yang terutama. Seperti yang dijelaskan oleh Bill Williamson (1979), struktur kognitif yang dikembangkan dalam sistem pendidikan suatu negara akan mempengaruhi bagaimana orang memahami dan menafsirkan peran sebuah usaha dalam masyarakat, yang menyangkut pada pembagian kerja.

Dari pemahaman di atas, maka dapat ditemukan bahwa masyarakat saat ini sangat tergantung pada pembagian kerja modern dalam pengembangan ekonomi maupun ketertiban guna menopang jumlah penduduk yang semakin membesar. Dengan demikian maka secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih tergantung pada sekolah dasar sampai sekolah tinggi kejuruan dibandingkan masyarakat yang tidak terindustrialisasi. Harapan pada sekolah pun semakin besar sebagai agen sosialisasi individu dalam masyarakat.

Namun, hadirnya ancaman yang timbul akibat pandemi COVID-19 menyebabkan efektivitas institusi pendidikan semakin menurun. Di tengah ekonomi yang tengah makin berkembang selama COVID, ketidaksiapan menghadapi wabah tersebut menyebabkan sekolah terpaksa mengabaikan kapasitas yang dimilikinya guna mengakomodasi media alternatif sebagai adaptasi terhadap perubahan sosial yang ditimbulkan pandemi. Akhirnya beban pada siswa juga bertambah sehingga membuat siswa rentan kehilangan kemampuan.

Berdasarkan survei UNICEF yang diberitakan Media Indonesia, responden mengalami dua tantangan utama, yakni 35% kesulitan akses internet dan 38% kurang bimbingan guru. Selain itu, 59% responden mengaku belum ingin kembali ke satuan pendidikan karena khawatir terpapar covid-19. Sekitar 12% tidak memiliki biaya dan 1% takut perundungan. 50% responden menilai pembelajaran tatap muka sebaiknya dimulai setelah kasus menurun, dan 25% berpendapat belajar tatap muka dimulai saat tahun baru.

Dampak dari permaslahan ini tidak bisa disepelekan. Menurut publikasi situs berita Detik.com, Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan bahwa keputusan agar sekolah memberlakukan PJJ guna mencegah penyebaran virus di lingkungan sekolah berisiko menyebabkan learning loss pada peserta didik. Menurutnya, learning loss terjadi karena kurangnya kualitas serta fasilitas bagi anak yang sedang menjalankan PJJ sehingga akhirnya berdampak pada penurunan pencapaian belajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline