Tema : Makanan Cepat Saji dan Kesehatan Fisik Masyarakat
Industri makanan adalah salah satu industri yang berkembang pesat di dunia ini. Tanpa kita sadari, perkembangan industri tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini paling terlihat dari segi kesehatan. Ada banyak penemuan dalam industri ini yang membangun masyarakat yang lebih sehat, tetapi ada juga yang berdampak sebaliknya. Inilah makanan cepat saji.
Makanan cepat saji adalah jenis makanan yang bisa disiapkan dalam waktu yang cepat sehingga bisa segera dikonsumsi. Makanan cepat saji adalah salah satu produk yang selalu bertahan untuk dinikmati masyarakat dari waktu ke waktu. Makanan cepat saji pertama kali muncul pada tahun 1870 di kota New York. Menu makan siang yang ditawarkan restoran tersebut hanya memerlukan waktu sepuluh menit dari proses pembuatan hingga makanan disajikan kepada tamu.
Seiring waktu berjalan, ada semakin banyak penemuan menakjubkan yang membuat makanan bisa lebih cepat disajikan. Pada zaman terkini, makanan dapat disaji dalam hitungan detik. Kebanyakan produsen di industri berlomba-lomba membuat metode yang bisa membuat makanan mereka lebih cepat disajikan agar bisa menarik lebih banyak peminat dan meningkatkan profit. Namun, mereka tidak memikirkan dampak dari makanan cepat saji terhadap kesehatan masyarakat.
Pada tahun 2018, sebuah survei menunjukkan bahwa siswa yang mengonsumsi makanann cepat saji sebanyak 2 hari per minggu atau lebih berisiko 2,2 kali mengalami obesitas (Mulyani, dkk. 20201). Walaupun berbagai informasi sudah disebarkan kepada masyarakat mengenai cara menjaga pola diet yang baik, mayoritas dari masyarakat masih saja sering mengonsumsi makanan cepat saji. Penyebab utama dari hal ini adalah aksesibilitas makanan cepat saji untuk masyarakat.
Individu-individu dari berbagai lapisan masyarakat, kaya maupun miskin, bisa dengan mudah membeli makanan cepat saji karena harganya yang relatif murah. Rasa dari makanan tersebut yang enak juga mengundang masyarakat untuk semakin sering membelinya. Hal ini berbahaya karena mayoritas masyarakat Indonesia belum sadar akan pola konsumsi makanan yang baik bagi diri mereka.
Hal ini pada akhirnya meningkatkan risiko masyarakat terkena berbagai penyakit. Sudah begitu, masyarakat Indonesia cenderung tidak peduli terhadap himbauan dari menteri kesehatan dan lebih mementingkan memuaskan keinginan mereka akan makanan enak. Kondisi ini dapat diilustrasikan seperti orang yang sedang membangun rumah di tepi pantai yang rawan terkena badai.
Bayangkan ada sekelompok orang yang tinggal di daerah pesisir. Mereka tahu bahwa badai besar mungkin datang kapan saja, dan ada peringatan dari pihak berwenang untuk membangun tanggul perlindungan yang kuat serta mempersiapkan bahan-bahan yang bisa menjaga keselamatan mereka. Tetapi, membangun tanggul itu memerlukan waktu, tenaga, dan biaya. Sebaliknya, orang-orang ini memilih untuk menggunakan uang mereka untuk menikmati pesta, makanan lezat, dan hiburan di pantai, tanpa peduli dengan ancaman badai yang akan datang.
Bagi mereka, kepuasan instan jauh lebih menarik daripada upaya panjang yang harus mereka lakukan untuk melindungi diri. Mereka memilih untuk bersenang-senang di pantai, menikmati waktu yang ada, bahkan ketika langit mulai gelap dan awan badai berkumpul di cakrawala. Ketika badai akhirnya datang, mereka panik dan berusaha mencari perlindungan, tetapi saat itu sudah terlambat. Hal yang sebenarnya bisa dicegah dengan persiapan yang tepat justru berakhir menjadi bencana yang besar.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia perlu belajar dari negara-negara lain. Salah satu contoh negara yang dapat mengatur pola makan masyarakatnya dengan baik adalah Inggris . Hal ini disebabkan karena pelarangan penjualan produk dengan kadar gula, garam, dan lemak pada tempat-tempat dengan lalu lintas penduduk yang tinggi seperti tempat retail, pasar swalayan, dan sebagainya.
Sebaliknya, produk dengan kadar vitamin dan nutrisi yang tinggi lebih didorong untuk dijual pada tempat-tempat dengan lalu lintas penduduk tinggi. Sebagai akibat, para penduduk di daerah setempat lebih sering membeli produk bernutrisi dan bervitamin dibandingkan produk dengan kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi(Muir, dkk. 2023). Apabila hal seperti ini dapat diimplementasikan di Indonesia, diharapkan kualitas kesehatan masyarakat dapat semakin berkembang.