Lihat ke Halaman Asli

Skandal Calon Guru Besar Bertambah, Evaluasi untuk Masa Depan Dunia Pendidikan

Diperbarui: 17 Agustus 2024   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia ada banyak kasus yang berkaitan dengan jabatan seorang profesor. Hal ini bisa disebabkan kebanggaan yang didapatkan seseorang dari perolehan gelar tersebut. Namun, kenyataannya ada banyak orang yang menggunakan cara-cara licik dan tidak jujur untuk memperoleh gelar tersebut, seperti berkomplot dengan asesor saat penilaian. 

Menurut saya, kehadiran profesor-profesor yang mendapatkan gelar dengan cara tidak wajar dapat merugikan dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena efek berantai yang muncul sebagai akibat dari hal tersebut. Jika para guru tinggi yang menjadi profesor dari dosen-dosen yang mendapatkan jabatan mereka secara tidak wajar, maka kecenderungan untuk hal ini terjadi pada generasi-generasi penerus lebih tinggi. Hal ini berlaku seperti dalam sebuah kelas, siswa akan mengikuti guru. Jika guru yang mengajar saja tidak benar, apalagi siswa yang diajarkan. Hal seperti ini dapat terjadi pada dunia akademik karena kesalahan dalam sistem. 

Beberapa hal dalam sistem yang perlu dikembangkan lagi dapat dilihat dari berita skandal guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Pada kasus ini, ada sebelas dosen dari ULM yang mencalonkan diri untuk menjadi guru besar. Mereka diduga merekayasa syarat-syarat permohonan untuk menjadi guru besar. Ada sejumlah syarat yang ditetapkan bagi seseorang yang ingin mengajukan permohonan guru besar, antara lain memiliki gelar doktor dari perguruan tinggi terakreditasi, memiliki pengalaman menjadi dosen selama minimal 10 tahun, memiliki publikasi ilmiah di jurnal tereputasi seperti Scopus atau Web of Science, dan mencapai angka kredit setidaknya 850 poin. Namun syarat publikasi ilmiah internasional itu, menurut Idhamsyah, kerap menjadi pangkal pelanggaran etika akademik. Menurut laporan The Conversation mengenai indeksasi Scopus, yang diteliti oleh Macháček dan Srholec (2022) menunjukkan bawa dari 164.000 artikel yang diterbitkan di jurnal predator sepanjang 2015-2017, sebanyak 16,73% diterbitkan oleh peneliti Indonesia. 

Penyebab utama dari pelanggaran etika para dosen adalah syarat-syarat yang telah disebutkan. Sudah begitu masyarakat Indonesia tidak terbiasa dengan riset, ditambah lagi kekurangan dana untuk melaksanakan hal tersebut. Hal ini membuat para dosen mencari jalan pintas agar mimpi menjadi guru besar bisa terealisasi, dan mereka melakukan ini dengan harga uang. Para dosen, berdasarkan laporan Majalah Tempo, diduga mengeluarkan uang sebesar Rp70 juta – Rp135 juta saat mengurus permohonan status guru besar yang disetorkan kepada agen penerbitan artikel ilmiah. 

Seperti elang yang menunggu waktu tepat untuk memangsa, para dosen melakukan pelanggaran etika akademik pada saat universitas sedang dalam tahap ingin meningkatkan akreditasi. Salah satu cara suatu universitas dapat melakukan hal tersebut adalah dengan menaikkan jumlah peserta didik yang naik jabatan menjadi seorang guru tinggi. Memanfaatkan hal ini, aksi calon guru tinggi dengan para asesor berkomplot untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, hal sebaliknya malah terjadi dengan publikasi berita skandal guru besar ULM. 

Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/articles/crgr7perzywo




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline