Pengabdian Masyarakat Pada Orang Tua Balita Melalui Edukasi Frambusia di Posyandu Embun 1 Langgur Wilayah Kerja Puskesmas Ohoijang Watdek Kabupaten Maluku Tenggara
Tim Pengabmas:
Ivonne A. V. Gasper, S.Kep, Ns., M.Kep (ketua)
Yohanis Lefta, S.Kep, Ns., M.Kep (anggota)
Pendahuluan
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit menular kronis atau menahun. Banyak istilah yang digunakan untuk frambusia, bergantung dari istilah pada suatu daerah. Di Maluku frambusia dikenal dengan sebutan bubba. WHO telah menetapkan frambusia sebagai salah satu penyakit infeksi tropis terabaikan terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NTDs). Penyakit ini endemik di Afrika Barat, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Felicia, 2021 ; Marks, 2015)
Frambusia disebabkan oleh bakteri treponema pallidum ssp pertenue yang juga satu species dengan spiricete sifilis, treponema pallidum. Meski termasuk dalam species yang sama dengan spericete sifilis, frambusia merupakan non-venereal diseases atau penyakit yang tidak ditularkan secara sexual seperti sifiilis, tetapi melalui kontak kulit ke kulit. Treponema pertunue bereproduksi setiap 30 jam dan bergerak melalui jaringan ikat serta tidak bertahan hidup di luar vektor inangnya, cepat mati akibat paparan panas, oksigen, dan pengeringan (Marks, 2015).
Seseorang yang terpapar bakteri penyebab frambusia tidak langsung menunjukkan gejala, namun akan timbul gejala setelah tiga sampai lima minggu.Tanda atau stadium awal frambusia adalah muncul benjelon sebesar kelengkeng pada kulit, umumnya di kaki dan bokong. Benjolan ini sering disebut dengan istilah frembesioma (induk frambusia). Benjolan akan bertambah besar dan membentuk kerak kuning tipis yang menimbulkan rasa gatal serta pembengkakan kelenjar getah bening di daerah sekitarnya. Benjolan ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam enam bulan dan sering meninggalkan luka. Jika frembisoma belum sembuh, dapat terbentuk ruam berkerak pada wajah, lengan, kaki, dan bokong, serta pada telapak kaki dapat terbentuk koreng tebal yang menimbulkan rasa sakit. Selanjutnya pada penderita frambusia yang belum sembuh akan mengalami frambusia kronis dalam lima tahun yang dapat mengakibatkan kerusakan berat pada kulit, tulang, sendi terutama di kaki. Komplikasi pada frambusia kronis juga menyebabkan kerusakan pada wajah akibat kerusakan tulang hidung, langit-langit atas, dan tenggorokan atas (faring). Jika terjadi pembengkakan di sekitar hidung, penderita frambusia akan mengalami sakit kepala, dan hidung beringus. Penampilan wajah seperti ini disebut dengan istilah "Goudou" (Maksfield, 2024 ; Marks, 2015).
Frambusia ditargetkan mancapai eradikasi di tahun 2020, namun hingga tahun 2024 masih ditemukan kasus frambusia di beberapa daerah. Oleh sebab itu upaya eradikasi atau pemberantasan dan eliminasi frambusia terus dilakukan. Di Indonesia, upaya pemberantasan frambusia dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak sehingga pada tahun 2023 terdapat 158 Kabupaten/Kota dengan status bebas frambusia yang terdiri dari 10 daerah endemis dan 148 daerah nin-endemis. Meski demikian, kasus frambusia masih ditemukan hingga tahun 2024 yaitu sebanyak 69 kasus yang tersebar di Indonesia bagian Timur (Kemenkes, 2024).