Lihat ke Halaman Asli

jonansaleh

Hands are the second thought

Haru: Hiruk-Pikuknya paraTikus di Negriku

Diperbarui: 30 November 2017   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim di Negriku

Hanya ada satu musim di negriku, Negri Petak Umpet, yaitu musim panen. Ya. Kami tak mengenal dan merasakan musim-musim lainnya, semacam musim di negri sebelah yang ada musim tanamnya,  kemarau, hujan, lapar, sakitnya dan banyak lagi. Bagi kami, sepanjang tahun adalah musim panen. Panen raya yang selalu dirayakan dengan sukacita oleh bangsa kami, bangsa tikus. Dalam benak dan nadi kami, hanya ada panenan. Maka, sedari kecil kami sudah disumpah untuk selalu mensykuri musim panen. Kami memang bukan siapa-siapa di antara kaum yang lainnya. Kami hanyalah tikus, yang biasa dipanggil seekor untuk ukuran seorang bagi kaum mereka. Eh. Bukan politikus ya. Itu beda. Mereka bukan tikus kok. Hanya namanya hampir sama. Jelas, mereka manusia dan kami bina tang. Dibina pake tang. 

Kami terlalu Aman

Waktu berlalu, tahun berganti. Musim tetap sama bagi kami. Dimana-mana perayaan musim panen begitu riuh-rendah dirayakan. Bagaikan hidup di negri Zamrud Khatulistiwa. Dimana kami bisa bebas adanya, menyebrang dari Sabang sampai Merauke. Beria-ria dan menari menampakkan hasil panen tiap-tiap kaum kami. Lamanya kami menikmati, konon bisa sampai tujuh turunan. Anehnya, bangsa kami tak mengenal musim tanam. Pokoknya yang ada hanya musim panen. 

Saat ini kami sedang menikmati hasil panen. Dari kebun sebelah, sebelah dan sebelahnya lagi. Hampir di segala lini kami memanen. Perlahan namun pasti, tanpa kami sadari. Ternyata oh ternyata, kami keasyikan tidur beralas lumbung. Kami lupa menoleh. Aha!! Ada Tikus lain sedang mengintai!? Oh bukan! Bukan Tikus. Mereka sekawanan yang mengendap endap. Hanya tampak kuku kakinya. Ihhh.. Lebih besar dari punya kami. Bergerigi dan dan dan... Runcing. Kokoh, mengait batasan lumbung kami. Siapa mereka. Mungkin Bangsat baru penghuni negriku. Atau mereka berpura -pura saja, berubah rupa dengan memakai rompi orange. Eh salah. Tubuhnya belum terlihat. 

Sontak, kami semua kaget. Sejak kapan kami mengundang bangsa lain menikmati hasil panenan. Tak sempat bertanya. Gerigi mereka langsung menggerogot mulut kami yang sedang asyik melahap. Mampuslah kami... 

Kepala Suku Tercyduk

..... Di mana kepala suku kami? 

Seperti kilat menyambar, tiba-tiba lumbung kami retak perlahan. Kami tak sempat bersiaga akan masuknya para penyusup dari bangsa lain. Akan lain ceritanya jika kami dapat mengendus kedatangan mereka sebelumnya. Seperti yang sudah pernah tetua kami lakukan. Berhasil tanpa terjerat kungkungan mereka. Itu dulu. Dulu sekali. Sudah. Kami terlalu aman di lumbung yang baru beberapa tahun selesai kami rajut. 

Sungguh malam yang begitu malang bagi kaum kami. Kepala suku berhasil mereka angkut. Entah kemana. Hanya mereka yang tahu dan Tuhan. Dari kejauhan samar sebuah kandang beruji besi mengurung kepala suku kami. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline