Indonesia hari-hari ini sudah berani berlakon. Setiap orang memainkan perannya masing-masing. Seakan semua tak rela jadi penonton. Represif bukan perannya. Tak berfaedah jika hanya mata yang melalak. Di segala lini, orang-orang berlomba memancangkan tiang, menyingsingkan lengan, beradu nyali dengan sesumpek pikiran, saling melawan. Orang-orang berubah, beralih dan kini sedang membangun panggung. Namanya Panggung Sandiwara. Tak ketinggalan di Negeri Seribu Marmut. Ada bangsa Tikus yang sedang berjuang mengulek, mengotakatik hendak menguasai Negeri Marmut.
Para Tikus sudah terbiasa hangat di balik lumbung. Berkelimpahan hasil panenan. Dan mereka tahu bahwa dengan strategi penyusupan yang ngehh, satu dua lumbung dapat mereka kuasai tanpa peduli siapa tuan yang empunya lumbung. Sandiwara yang sempurna berkat keuletan bermusyawarah dalam rapat pleno harian. Peran penguasa lumbung mereka lakoni bertahun-tahun. Tanpa ada jedah atau sambungan seperti dalam sinetron. Bagi Tikus, sekali diberi kesempatan maka selanjutnya adalah peluang. Peluang yang tak perlu dietos kayak dadu. Namun, bagi Tikus yang lupa perannya akan menjadi mangsa bagi tuannya. Akan diarak menuju kota dan mengelilingi negeri Marmut. Tidak untuk dipancung, hanya dialih fungsikan peranannya. Menjadi pemandu jeruji. Aneh, masih ada saja yang lolos. Tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H