Seperti yang saya perkirakan sejak Desember 2012 ketika menyaksikan ambisi besar Jokowi mencalonkan diri sebagai capres tahun 2019-2024 dengan menunggangi jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, bahwa kepresidenan Jokowi berarti kehancuran Indonesia di segala bidang: keamanan, hak asasi manusia, ekonomi, budaya, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Penilaian saya terhadap Jokowi tersebut didasari pada sebuah fakta tidak terbantahkan tentang sosok Jokowi, yakni dia adalah seseorang yang ambisius dan akan menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya, namun tidak memiliki kemampuan untuk memimpin atau menyelesaikan masalah. Kita ambil contoh dari cara Jokowi menyelesaikan masalah banjir akhir tahun 2012 yang diakibatkan oleh jebolnya tanggul Latuharhary, di mana saat itu Jokowi memimpin sendiri usaha perbaikan tanggul selama berhari-hari. Apa yang dilakukan Jokowi ini merupakan bukti bahwa cara memimpin Jokowi adalah micro-management. Akibatnya tentu saja fatal, sebab karena terlalu sibuk di satu tempat, Jokowi justru melupakan satu hal penting: menyelamatkan ribuan warga yang terperangkap banjir.
http://www.tempo.co/read/news/2013/12/26/083540147/Jokowi-Perbaikan-Tanggul-Latuharhary-Tiga-Hari
http://www.mediacenter.or.id/reports/view/456
Enam bulan kemudian, Jokowi membiarkan warga Pademangan Jakarta Utara terperangkap banjir sementara dia asik-asikan nonton konser musik di Malaysia.
http://www.yiela.com/view/3133642/banjir-tak-kunjung-ditangani-warga-pademangan-ancam-gelar-demo
http://m.kompasiana.com/post/read/641988/3/rakyat-tenggelam-jokowi-nonton-konser.html
Saat itu sulit dibayangkan bagaimana nasib Indonesia di tangan orang seperti Jokowi dengan rekam jejak seperti tergambar di atas, hanya mementingkan diri sendiri; tidak peduli pada nasib dan penderitaan rakyat serta kapasitas memimpin yang sangat rendah. Namun apa lacur, akhirnya Jokowi-JK ditetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai pemenang pilpres sekalipun mereka melakukan berbagai kecurangan, seperti menjerumuskan Ketua KPK Abraham Samad agar berpihak kepada mereka dengan iming-iming jabatan cawapres; membuat polisi aktif berpihak melalui Komjen Budi Gunawan, sampai keinginan menyedot data KPU sebagaimana disampaikan Akbar Faisal melalui pesannya yang bocor baru-baru ini; dan KPU melalui Komisioner Hadar Gumay berpihak kepada mereka, entah dengan iming-iming apa.
Walaupun mimpi buruk Indonesia sudah di depan mata, namun saya masih sempat berdoa agar perkiraan saya salah, tetapi harapan ini juga tidak terkabul, karena hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk membuktikan bahwa Jokowi adalah pemimpin paling tidak profesional, paling tidak hati-hati, paling anti hak asasi manusia, paling korup dan paling tidak bisa dipercaya di sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fakta ini terpampang jelas dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang kian hari kian memuncak dan sekarang sudah terungkap bahwa Jokowi memang benar sekedar perpanjangan tangan dari Ketua PDIP Megawati Soekarnoputri, atau yang kerap disebut sebagai petugas partai alias Jokowi adalah boneka Megawati.
Kekecewaan rakyat kepada Jokowi dimulai ketika Jokowi kembali memperlihatkan tabiat aslinya yang gampang berjanji tapi gampang pula tidak menepati dalam proses pembentukan kabinet yang menurut janji kampanye akan menjadi kabinet ramping berisi kalangan profesional, namun yang terbentuk malah kabinet super gemuk yang dialokasikan kepada kader-kader partai pengusung. Apabila kursi di kabinet sudah tidak cukup, maka untuk menampung "relawan-relawan pro Jokowi," akan dibuat pos baru seperti Kepala Staf Kepresidenan bagi Luhut Binsar Panjaitan atau sekalian membuka lebar-lebar kursi direktur dan komisaris BUMN untuk dirampok oleh orang-orang pendukung Jokowi. Apabila pos jabatan tidak diperlukan pengusungnya, maka Jokowi akan memberikan proyek besar seperti sonangol kepada Surya Paloh dan Mobnas kepada AM Hendropriyono.
Tidak lama setelah operasi bagi-bagi jabatan dan proyek itu, Jokowi kembali mengecewakan rakyat dengan membuat kebijakan yang menambah beban hidup rakyat melalui penyerahan harga BBM, tarif dasar listrik, kereta api dan berbagai kebutuhan hidup lainnya kepada harga pasar.
Kebijakan dari Jokowi juga lebih banyak asal buat, asal jadi dan tidak dipikirkan terlebih dahulu, misalnya kejadian memalukan ketika Jokowi dengan bangga mengakui dia tidak membaca peraturan presiden sebelum menandatangani, atau ketika dalam acara panen raya dia menyampaikan bahwa tidak akan melakukan impor beras, tapi selang berikutnya, Jokowi malah menandatangani instruksi presiden yang mengizinkan impor beras karena kebijakan larangan impor beras telah menyebabkan harga beras membumbung tinggi tidak terhingga. Belum lagi kejadian memalukan ketika Jokowi membuat pencitraan dengan membagi-bagikan traktor kepada petani, tapi setelah Jokowi pergi, pihak pabrik menarik kembali traktor tersebut karena ternyata traktor yang diserahkan oleh Jokowi kepada petani hanya pinjaman dan hanya untuk kepentingan wartawan untuk mengambil gambar ratusan traktor dan "pemberian" traktor oleh sang presiden kepada petani. Memalukan.