Konsep memerdekakan pendidikan Indonesia patut menjadi atensi lebih dari banyak pihak, termasuk pemerintah. Sekolah merupakan wadah pembentukan karakter pelajar setelah keluarga. Metode belajar dan lingkungan pendidikan perlu dievaluasi sebagai langkah awal mencetak generasi berkualitas di masa mendatang. Bagaimana saat ini Indonesia dianugerahi bonus demografi yang didominasi generasi milenial (pelajar).
Selain mewujudkan cita-cita mencerdeskan kehidupan bersama, program pendidikan juga harus berfokus pada pembentukan karakter yang bermoral di tengah akses kebudyaan asing era digital. Sehingga pendidikan tidak hanya mengajarkan materi pokok, namun juga mampu menganalisis keahlian (kompetensi) siswa agar mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Goncangan teknologi harus cermat dimanfaatkan, bukan malah menjadi alat eksploitasi perilaku amoral siswa.
Alasan lain, kecermatan menentukan program pendidikan harus punya orientasi pada kecintaan bangsa yang diaktualisasikan dalam butir nilai-nilai pancasila. Berkembanganya virus ideologi transnasional berdampak pada konflik politik dan agama. Kebudyaan bangsa mulai banyak digantikan dengan budaya impor yang mudah diakses melalui media digital. Tantangan bangsa untuk menanamkan jiwa nasionalis bangga dengan budaya daerah (nasional).
Setelah mengalami 14 kali perubahan kurikulum pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, Kemendikbudristek dan Kemenag berinovasi mengembangkan Kurikulum Merdeka Belajar yang bertujuan menciptakan sistem pendidikan yang menyenangkan, mengembangkan potensi peserta didik, lebih sederhana dan interaktif. Tentu program ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang cenderung konservatif dan membatasi daya kreasi siswa dalam menentukan karir sesuai keahliannya.
Program Merdeka Belajar mencoba menawarkan konsep pendidikan yang lebih esensial bagi siswa dan guru. Industri teknologi juga menjadi faktor bagaimana konsep pendidikan yang kaku akan menjadi hambatan perkembangan siswa dalam menentukan masa depan pekerjaan. Di sisi lain, sekolah (pengajar) punya tanggung jawab lebih memberikan contoh moralitas kepada peserta didik.
Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Kita selalu didoktrin program pendidikan asing sebagai parameter kualitas pendidikan unggulan. Melupakan konsep pendidikan domestik yang pernah dirancang 'Bapak Pendidikan' Indonesia, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Melalui program pendidikan yang diberi nama Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di kota Yogyakarta, beliau menekankan prinsip nasionalisme dan kemerdekaan dalam pelaksanaan pendidikan.
Dalam sejarahnya, Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan terhadap doktrinasi sistem pendidikan Belanda yang dianggap mengabaikan nilai kesetaraan, kebudayaan, dan semangat nasionalisme. Belanda menerapkan sistem pendidikan bertingkat sesuai dengan status sosial masyarakat Indonesia (Robert Van Niel, 2009).
Seakan mengembalikan konsep pendidikan natural bangsa, Program Merdeka Belajar menekankan kepada peserta didik untuk tidak bergantung kepada orang lain dan tetap berpegang teguh pada prinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri). Kemudian mengimplementasikan semboyan Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo (pemimpin harus mampu memberikan contoh), Ing Madyo Mbangun Karso (yang di tengah mampu membangkitkan atau menggugah semangat), Tut Wuri Handayani (yang dibelakang memberikan dorongan moral dan semangat) yang kini menjadi slogan dari Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Ada konsep menarik ketika Ki Hadjar Dewantara memilih diksi 'taman' daripada ladang, kebun, bahkan hutan. Bahwa dalam usia sekolah, siswa harus melihat sekolah sebagai tempat bermain dan bersenang-senang menghilangkan penat. Sementara diksi ladang atau kebun lebih identik pada daya produktivitas (pekerja kasar) untuk menghasilkan uang. Sehingga kesan keterpaksaan, kekakuan sistem, dan kejenuhan dalam sistem pendidikan menjadi keniscayaan.
Seperti halnya di Finlandia yang dinilai sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Di sana, mereka menerapkan kunci dari kesuksesan adalah dengan kerjasama, bukan dengan berkompetisi. Sementara pendidikan di Indonesia masih sulit menghilangkan paradigma sistem pendidikan lama yang memaksa peserta didik untuk aktif berkompetisi mengalahkan satu sama yang lain.