Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membentuk koalisi. Beberapa di antaranya sudah terang-terangan mendeklarasikan bakal calon presiden di media. Meski masih setahunan lebih, namun tidak ada yang terlambat dalam dunia politik.
Anies Baswedan yang diusung partai Nasional Demokrat (NasDem) misalnya, mulai melakukan mobilisasi dukungan kepada calon potensial koalisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain itu, aktif melakukan lobi politik ke basis Islam terbesar - Nahdlatul Ulama - dengan berbagai kunjungan ke pondok pesantren di Jawa Timur.
Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih berhati-hati menentukan calon presiden. Kader potensial Ganjar Pranowo dinilai pesaing ideal untuk bertarung dengan Anies di arena pilpres. Sementara Puan Maharani yang digadang menjadi penerus (akar rumput) Megawati masih jauh dari elektablitas yang memuaskan publik.
Masih ada juga calon presiden yang memiliki elektablitas dan popularitas tinggi seperti Prabowo Subianto, Erick Tohir, Agus Harimurti Yudhyono, hingga Muhaimin Iskandar. Apa pun itu, tembok presidential threshold membatasi masyarakat memilih pemimpin yang ideal tanpa harus melakukan lobi-lobi politik.
Pemimpin Seiman
Sejak lama, pemikiran bahwa presiden Indonesia harus muslim masih menjadi pedoman bangsa yang punya basis masyarakat beragama Islam. Seolah tidak ada peluang bagi tokoh nonmuslim sekedar bersaing dalam pemilihan calon presiden. Kesadaran kaum minoritas mendorong pencalonan pemimpin muslim yang toleran terhadap kondisi pluralisme di Indonesia.
Puncak benturan politik agama terjadi ketika mulai terbentuknya politik identitas. Bukan perseteruan antar agama, melainkan simbolisasi konsep islamisme dan nasionalisme. Narasi pilihan pemimpin yang seiman dijadikan narasi memenangkan Anies Baswedan ketika mempecundangi Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam pilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017.
Mengetahui bahwa gubernur DKI Jakarta merupakan batu loncatan menjadi presiden Indonesia, isu agama dimainkan secara nasional yang kemudian merambat ke politik daerah. Agama menjadi alat berpolitik praktis. Memainkan isu sekulerisasi, komunisme, radikalisme, hingga terorisme. Akibat politik identitas, agama menjadi bahasan yang tabu (sensitif) dibicarakan di ruang publik.
Masyarakat minoritas yang mempunyai hak sama memilih dan dipilih menjadi pemimpin harus mengurungkan niat sampai doktrinasi politik agama tidak lagi mengatur dominasi pemilu di Indonesia. Bagi nonmuslim, tidak ada lagi pilihan untuk memilih pemimpin yang seiman, selain pemimpin muslim yang masih peduli terhadap agamanya.
Pemimpin Seniman
Misalkan pilihan pemimpin seiman masih membelenggu demokrasi di Indonesia, ada variabel lain menentukan pemimpin yang ideal di masa depan. Pemimpin yang punya jiwa seniman. Kreaktif dan inovatif mengatasi problematika nasional tanpa iming-iming janji politik dan pencitraan di ruang-ruang publik.
Melalui tangan seniman, tradisi menjadi sesuatu yang harus diubah, bukan disembah. Dari pikirannya yang imajinatif, lahir ide-ide baru mengenai tata kelola masyarakat, jalan hidup untuk kebebasan, pandangan tentang keadilan, dan kepekaan terhadap realita sosial. Seniman punya batin yang melintasi batas-batas agama, ras, golongan, dan budaya.