Lihat ke Halaman Asli

Gus Memet

Santri Kafir

Racun Jingga

Diperbarui: 17 April 2023   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Happines Only Real When Shared (dokpri)

Menu ke delapan dalam seri "Lek Lek Ngayogyakarta".

Andai bisa, tak ingin aku menulis tentang Racun Jingga. Tapi apa boleh buat, meskipun untuk menyusun tulisan ini materinya harus kuaduk-aduk dari ruang-ruang yang mungkin bagi sementara orang membangkitkan rasa tak nyaman, Racun Jingga tetap sebuah khazanah budaya yang berhak mendapat tempat yang layak. Lagi pula, buku "Lek Lek Ngayogyakarta" ini adalah sebuah upaya untuk jujur pada diriku sendiri.

Berawal dari ruang sosial artifisial, aku kenal seorang perempuan tiada dua: Anna. Waktu itu, Jakarta di awal tahun 1998. Situasi di luar sedang berada di titik terendah, genting, bahaya. Komunikasi kami di portal chat online yang diselenggarakan sebuah situs lokal sangat intens. Yang dibicarakan masalah iman, filsafat, dan pergerakan menentang rezim Orde Baru. Jelasnya, kami punya common enemy: Soeharto.

Ya, Anna seorang aktivis, demonstran militan. Freudian fanatik, agnostik pengagum Nietzche, penghayat liberalisme yang sudah mbalung sungsum. Pinggang belakangnya bertatto hadist Rene Descrates "Cogito Ergo Sum". Ia air bah yang siap menerjang semua perintang.

Hampir dalam segala hal, kami bertentangan. Diametral. Saat itu, aku hidup, menuntut ilmu, dan bekerja di tengah komunitas yang orang bilang "kelompok ekstrim kanan". Bisa begitu sebenarnya alasannya pragmatis saja, demi cuan. Kalau bicara jeroan, aku lebih cenderung pada daya pikat Al Hallaj dan Ibnu Arabi.

Maka hubunganku dengan Anna lebih banyak diwarnai pertengkaran demi pertengkaran gagasan.

Anehnya, justru beda paham itu menyatukan. Mungkin karena kami berdua sama militan. Tak sudi mengalah. Aku berjuang memahamkannya apa-apa yang kupercaya, ia mati-matian meyakinkan ideal-ideal yang dianutnya sebagai kebenaran yang nyata. Satu saja yang sama dan erat mengikat: kami menginginkan perubahan di bumi Indonesia bukan karena terhanyut arus. Aku dan Anna adalah korban.

Lalu peristiwa 1998 itu terjadilah.

Tapi sesudahnya, aku dan Anna termasuk sedikit orang yang merasa kecewa. Ternyata kami tidak siap mengisi ruang kosong yang ditinggalkan, yang kami perjuangkan. Penumpang-penumpang gelap berebut kekuasaan. Gendruwo-gendruwo bermetamorfosa menjadi hantu baru yang sulit dikenali, lalu kembali ke gelanggang sebagai pahlawan.

Anna memutuskan pulang. Ke Jogja. Iya, Jogja. Kembali ke rumah ibunya. Aku melanjutkan hidupku sebagai pekerja pers "sayap kanan" di Jakarta. Soeharto sudah kalah. Tak ada lagi benang merah yang mengikat aku dan Anna. Kami memutuskan berpisah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline