Lihat ke Halaman Asli

Gus Memet

Santri Kafir

Sekali Lagi: Revolusi

Diperbarui: 7 Maret 2022   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Dumbing Us Down, ilustrasi tangkapan kayar.  (dok. pri.) 

"Kita unggul di olahraga individual, di olahraga tim seperti sepakbola, modal dasar kita memang kurang," Taufik Hidayat, living legend  bulutangkis Indonesia bicara apa adanya.  Soal bangsa ini lebih suka "habis-habisan" di sepakbola, mungkin hanya soal syahwat. Kalimat ke dua kalam penulis. 

Dalam orasi  kebudayaan berjudul Manusia Indonesia yang disampaikan Mochtar Lubis (allahyarham) di TIM tahun 1977, disebutkan 6 karakter utama Manusia Indonesia.  Lima karakter (hipokrit, tidak bertanggungjawab, feodal, mistis, dan berkarakter lemah) merupakan otokritik pedas level dewa dan menimbulkan polemik di masanya.  Orasi budaya itu dibukukan pada 2001 dan menjadi salah satu buku koleksiku ketika SD. 

Untungnya Mochtar masih menyisakan satu karakter unggul yang menjadi modal kuat manusia Indonesia untuk bertahan dalam persaingan peradaban. Kita bangsa artistik, kata Mochtar. 

Pean boleh setuju, boleh tidak. Tapi dalam Slilit Sang Kiai (1991), kumpulan kolom MH Ainun Nadjib, ada satu esai yang begitu mengganggu pikiran. Esai berjudul Etnotalentologi itu bicara tentang potensi alias bakat etnis yang berbeda-beda sebagaimana Tuhan menghendaki pluralitas itu terbentuk agar masing-masing bangsa, bahkan tiap individu menjadi mahluk kompetitif (Qur'an, Surah Al Hujurat ayat 13).

Kompetisi untuk mengembangkan peradaban yang baik, dalam nalar MH membutuhkan tool yang disebut pendidikan yang harus didasari pemahaman karakterustik pribadi seseorang, etnis, atau bangsa masing-masing. 

Ucapan Taufik Hidayat di atas dan kondisi riil manusia bangsa Indonesia menjustifikasi tesis MH. Dalam dunia pendidikan, metoda pengembangan berbasis potensi dan karakteristik itu disebut pedagogi humanistik. Sebaliknya, pendidikan dengan basis tujuan yang telah ditetapkan disebut metoda behaviouristik. 

Dalam Tetralogi Buru, Pram mengungkap fakta sejarah bahwa sejak berkembangnya politik etik di Eropa dan kebangkrutan Netherland karena terlibat perang lawan Prancis di Eropa dan pemberontakan Diponegoro di Hindia Belanda, tool pendidikan (sekolahan) di Hindia Belanda yang kemudian didirikan sejak abad 18 menerapkan metoda behaviouristik. 

Tujuan pendidikan yang disasar penerintah kolonial untuk pribumi Hindia Belanda itu tak lain untuk menyediakan tenaga kerja terpelajar di level birokrasi kolonialis eselon rendah dan buruh terpelajar untuk menggerakkan industrialisasi di Hindia Belanda. Mereka mendidik pribumi karena gaji buruh dan pegawai negri pribumi rendah. 

Industrialisasi mau tidak mau diterapkan pemerintah Hindia Belanda karena sistem monopoli perdagangan saja tidak cukup untuk menutup kerugian akibat perang. Netherland tidak lagi punya cukup duit untuk menggaji SDM Londo yang jauh lebih mahal. Pean sekarang ngerti alasan didirikannya Sekolah tinggi pertama cikal bakal Universitas Indonesia. Stovia waktu itu dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa!

Pasca kemerdekaan, terutama di era rezim Orde Baru, pedagogi behaviouristik makin intens diterapkan atas nama stabilitas politik dan pembangunan yang tidak bisa dicapai di masa-masa sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline