Lihat ke Halaman Asli

Gus Memet

Santri Kafir

Pulang

Diperbarui: 18 Desember 2021   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Home Sweet Home by Karin Best (sumber: saatchiart. com)

Ramai benar warga berembug satu rencana di balai desa. Setelah sekian lama hidup di rantau, kami bersuara bulat demi rindu nan merajam kalbu: pulang. Semua menyambut riang. Tak satupun hendak tinggal selamanya di negeri orang.

Sayang, bila tiba bicara bagaimana hendak kami pulang, gaduhlah banyak orang dengan banyak cara menuju kampung halaman. Masing-masing merasa gagasan di kepalanya yang paling benar.

Dengarlah Dul Somad, sodagar minyak wangi mengusung usulan: "Kita naik pesawat terbang, itu jalan paling cepat tiba di tujuan."

"Setuju. Memang tak sedikit harga harus dibayar. Tapi demi segera pulang, tak apalah panen semusim dikorbankan," Rojak, pegawai Dul Somad unjuk kesepakatan. Dua tiga lainnya condong jua hatinya.

"Tidak. Saya takut ketinggian. Lebih baik naik bus saja," tolak Ngadiman.

"Benar kata Kang Diman. Mana mampu saya bayar bangku kapal terbang? Tapi badan ini ada penyakit gula darah, sebentar-sebentar musti pergi ke belakang. Lebih leluasa naik kereta api saja, muat banyak, dan ada kakus pula," Yosep angkat bicara.

Gede Suarse bangkit berdiri, "Susah payah tiang angsur sepeda motor tiap bulan, tujuan hendak dibawa pulang. Apapun yang terjadi, tiang pulang dengan sepeda motor."

"Bli, motor kan bisa dinaikkan gerbong kereta. Tak capek pula kau ini. Ambo sepakat berkereta saja," uda Rozaq tak hendak diam saja.

"Kapal. Aku akan pancing ikan setiap hari buat kita makan bersama. Biru lautan, buaian gelombang, nyanyian burung camar... Ahai, indah nian perjalanan pulang," mengusul pula Zaini yang saban hari mengayun joran di pinggir kali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline