Lihat ke Halaman Asli

Komunikasi Politik Intimidatif dan Konfrontatif ala Foke dan Nara Tidak Menguntungkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komunikasi Politik Intimidatif dan Konfrontatif ala Foke dan Nara Tidak Menguntungkan

Tidak belajar dari pengalaman kampanye putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, kembali pasangan petahana Foke-Nara membuat blunder dalam berkomunikasi. Belum hilang dari ingatan masyarakat Jakarta pernyataan-pernyataan arogan Nara saat berkampanye di putaran pertama Pilgub DKI 2012, kini masyarakat disuguhkan kembali pernyataan ‘menyeramkan’.

Seperti inikah calon pemimpin Jakarta dalam berkomunikasi dan berkehidupan sosial dengan warganya? Seolah-olah arogansi sudah sangat lekat dengan karakter dan gaya berbicara Foke dan Nara. Herannya, kedua mereka melakukan hal yang sama. Tidak hanya Nara atau cuma Foke seorang! Mengawatirkan dan semakin menghilangkan simpati warga terhadap mereka berdua.

"Kalau ada yang kurang ajar bukan kita beli lagi, tapi kita borong, Habisin sampai ampas-ampasnya. Yang kurang ajar, Hajar. Masak kampung kita dipencundangi sama orang lain," kata Nara dalam pidato kampanye di Kebayoran Lama, 27 Juni 2012. “Saya perintahkan lawan, Saya yang tanggung jawab nanti," lanjut Nara. Mengerikan.

Lewat sebulan lebih, nama Nara sempat meredup tanpa pernyataan kontroversial. Begitu muncul saat menghadiri Lebaran Betawi 9 September 2012, mantan Kepala Lembaga Sandi Negara ini kembali menyecar warganya: "Saya ingatkan pada kaum Betawi, tidak ada pilihan lain selain satu untuk semua. Pada tanggal 20 September, silakan keluar dari Betawi jika tak pilih orang Betawi." Lagi-lagi pola komunikasi yang intimidatif. Tepatkah komunikasi kampanye sedemikian?

Hebatnya, di acara yang sama saat Foke mendapat giliran berpidato, gaya komunikasinya setali tiga uang dengan Nara. Komunikasi konfrontatif kembali dipertontonkan Foke. "Saya nggak percaya orang Betawi nggak kompak. Tetapi kalau memang ada yang nekat, kasih tahu saya. Nanti saya cabut KTP-nya," kata Foke dengan nada tinggi dan serius.

Sangat memprihatinkan gaya komunikasi kedua calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilgub DKI Jakarta 2012 ini. Alih-alih berpidato untuk menjelaskan visi-misinya 5 tahun kedepan dan menarik simpati warga, yang terjadi justru komunikasi represif yang kontra produktif bagi keduanya. Akankah kita hidup dijaman represif seperti masa ORBA dulu?

Foke-Nara harusnya mempertimbangkan, bagaimana kalau ternyata warga Betawi tidak memilih mereka dan mayoritas masyarakat Jakarta lebih memilih Jokowi-Basuki. Kekuasaan apa yang mereka miliki untuk mengusir dan mencabut KTP warga Betawi? Sesumbar keduanya tidak mendasar dan ‘asal cuap’ saja. “Siapa elo?” begitulah kira-kira bahasa gaulnya

Bagaimana sesepuh Betawi menanggapi pernyataan arogan Foke dan Nara? "Apalagi keluar dari Betawi, itu gimana maksudnya? Betawi kan bukan lokalitas atau geografis, maksudnya apa? Keluar dari Betawi gimana caranye? Menurut saya ucapan mereka itu ucapan yang frustasi saja," ujar Ridwan kepada Tribun, Selasa (11/9/2012).

Apa boleh buat, komunikasi politik yang tidak mendidik masyarakat sudah terjadi. Mereka merusak citra dirinya sendiri sebagai pemimpin. Bukannya mengayomi agar dicintai warga, justru menyakiti hati rakyat. Hal ini menjadi salah satu alasan kuat, mengapa masyarakat Jakarta klak memilih Jokowi-Basuki untuk memimpin Jakarta Baru paska 20 September 2012.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline