Lihat ke Halaman Asli

Salah Kaprah Pengusutan BLBI

Diperbarui: 22 November 2017   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usut Kasus BLBI. Sumber gambar: cnnindonesia.com

Penetapan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada bulan April 2017 lalu dianggap sebagai obat mujarab buat melanjutkan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Media-media terhenyak, ekspektasi masyarakat pun dibuat membuncah sebab penetapan tersangka kasus BLBI ini dipandang sebagai sebuah langkah maju.

Semenjak itulah KPK semakin rajin pula memanggil saksi-saksi. Satu hal yang mereka persoalkan, yakni proses persetujuan pemberian surat keterangan lunas atau yang biasa disingkat SKL pada obligor BLBI. Kali ini, yang disasar adalah BDNI.

Tanpa bermaksud mengesampingkan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, upaya KPK menggali kembali kasus yang telah lama mengendap ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan. Yang jadi pertanyaan, utamanya kenapa yang total jadi sorotan itu satu obligor saja. Bukankah bukan hanya BDNI ini yang menerima SKL?

Penerima SKL. sumber: beritasatu.com

Nah, agar tabir terbuka hingga tak mengamati masalah ini bak memakai kacamata kuda yang tunduk pada pemberitaan saja, ada baiknya mengetahui lebih mendalam permasalahan ini sejak awal.

Dulu, BPPN sebetulnya juga memberikan putusan sama terhadap 21 obligor lainnya. Di antaranya Hendra Liem sebagai pemilik Bank Budi Internasional, the Ning King dari Bank Dana Hutama, Sudwikatmono dari Bank Subentra dan Bank Surya, Ibrahim Risjad selaku pemilik Bank Risjad Salim International, serta Soedono Salim dengan Bank Central Asia (BCA)-nya.

Lalu ada pula nama-nama kesohor lainnya seperti Siti Hardijanti Rukmana selaku pemilik Yakin Makmur Bank, Hashim Djojohadikusumo dengan Bang Papan Sejahtera-nya, juga Nirwan Bakrie selaku pemilik Bank Nusa Nasional dan Muhammad Bob Hasan dengan Bank Umum Nasional. Bagaimana dengan mereka? Bukankah pemerintah punya semua data 'ajaib' soal harta-harta mereka dan BLBI yang mereka rasakan juga?

Kala itu penyelesaian pembayaran BLBI dilakukan dengan tiga skema. Inti dari skema-skema hasil pembahasan pemerintahan BJ Habibie dengan IMF waktu itu adalah mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham, atau pemilik bank.

sumber foto: rakyatjakarta.com

Terhadap mereka yang dinilai mampu membayar BLBI yang diterimanya, termasuk  BDNI, pemerintah menetapkan skema MSAA, sesuai audit Pricewater house-Coopers dan Lehman Brothers. Penilaian terhadap kemampuan para penerima kucuran dana ini bukan cuma oleh BPK. Ada Danareksa, Bahana Sekuritas yang melengkapi dua auditor internasional itu, mendampingi BPK.  

Hasil audit di tengah proses pembayaran, juga oleh BPK bersama tim 'pembantu' itu. Hasilnya menyebutkan aset yang diserahkan sudah sesuai dengan utang BLBI BDNI. Dengan kenyataan ini, tentu cukup mengherankan kalau BDNI

Perjanjian MSAA itu sendiri ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999. Dalam prosesnya, BPPN yang dipimpin Syafruddin itu memberikan SKL pada April 2004.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline