"Makanya, kalau belajar itu dicicil, hehehe...!"
Begitu kata saya sambil terkekeh-kekeh sambil memasuki kamar makan yang isinya beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang sedang belajar mati-matian karena ujian semester yang menanti esok paginya.
Kontan, wajah-wajah suntuk itupun berubah sontak menjadi garang. Bukan sambutan selamat datang yang saya terima saat pulang kerja eh malah sambitan penghapus dan rautan yang berhamburan.
Saat itu saya sudah kerja, tidak di Indonesia. Entah mengapa, tempat saya tinggal memang sering dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi Indonesia untuk belajar atau sekedar kongkow di malam hari.
Tapi ya begitulah, sistem kebut semalam alias sks yaitu belajar setengah mati menjelang ujian tetap diterapkan oleh para mahasiswa Indonesia itu secara konsisten baik di dalam maupun di luar negeri.
Sistem sks, gak pake lama atau sistem instan sepertinya memang melekat erat, mendarah daging pada manusia Indonesia termasuk saya.
Dari dulu sampai sekarang, saya juga melakukannya tidak hanya dalam hal belajar tapi juga bekerja dan hal-hal lain. Konsisten di segala lini.
Saat berkendara misalnya, tak terhitung pula berapa kali saya bergerak melawan arah saat mengemudikan motor. Kebiasaan ini saya hentikan, saat seorang teman giginya rompal 3 lantaran saat enak-enak jalan kaki eh ujug-ujug ditabrak pengemudi motor yang melawan arah.
Alasan berkendara melawan arah tentulah agar lebih cepat sampai tujuan. Harus memutar untuk bisa bergerak masuk ke jalur dengan arah yang benar tentu akan menghabiskan waktu, pake lama, tidak efisien.
Tapi kebiasaan itu saya stop. Selain karena sangat berbahaya, mengemudi melawan arah juga perbuatan setan yang salah satunya hantu. Di Belanda misalnya mengemudi melawan arah disebut spookrijden alias mengemudi bagai hantu.