"Pergi ke mana kalian pas hari pertama Lebaran?" tanya Mbah.
"Kita pergi ke pantai Carita, Mbah," jawab si Budi.
Percakapan di atas pastinya lumrah kita dengarkan atau baca di kehidupan sehari-hari dan pastinya bisa kita mengerti dengan mudah. Sesungguhnya ada satu kesalahan yang cukup mendasar pada kalimat kedua yang menyebabkan logika percakapan menjadi tidak tepat.
Kata "kita" yang dipakai pada kalimat kedua sebenarnya membuat arti percakapan menjadi rancu. Apakah si Mbah sudah pikun dan beliau tidak tahu ke mana mereka semua, termasuk Si Mbah sendiri, pergi pada hari pertama Lebaran? Atau kemungkinan kedua, apakah si Mbah memang sebenarnya tidak ikut bepergian?
Menggunakan praduga tidak pikun, maka kemungkinan kedualah yang seharusnya terjadi, yaitu bahwa si Mbah tidak ikut bepergian. Pada situasi tersebut tentunya kalimat kedua adalah salah, karena penggunaan kata "kita" mengandaikan bahwa si lawan bicara ikut serta dalam kegiatan yang didefinisikan pada predikat kalimat tersebut.
Jika dan hanya jika Budi mengubah kalimat kedua menjadi;
"Kami pergi ke pantai Carita, Mbah," jawab si Budi.
maka makna percakapan sederhana di atas menjadi jelas, karena kata "kami" menyatakan bahwa si lawan bicara tidak ikut serta dalam predikat yang dinyatakan.
Lalu mengapa Budi menggunakan kata "kita" dan tidak menggunakan kata "kami"?
Masalahnya sepertinya bukan saja si Budi yang memilih menggunakan kata "kita" daripada "kami" tapi juga kita semua pada umumnya di saat kita bercakap-cakap atau berkomunikasi secara tulisan dalam keseharian kita.