Wajah teman saya yang dosen budaya di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu tampak sumpek. Dalam percakapan daring malam itu ia mengeluh panjang pendek.
"Kacau Pe, mosok mahasiswa-mahasiswa S1 yang pada nulis skripsi banyak yang gak tahu kapan 'di' harus dipisah atau disambung?! Mosok mereka gak tahu beda 'di' yang imbuhan dan 'di' yang kata keterangan tempat? Belum lagi masalah es, pe, o, k (s-p-o-k). Jangankan ngebahas topik penelitiannya, ngelihat tulisannya aja gue jadi males!"
Dua hal itu yang dikeluhkan teman saya yang dosen itu: masalah "di' dipisah atau disambung, dan penggunaan pola subyek-predikat-obyek-keterangan atau s-p-o-(k).
Dalam beberapa kesempatan, saya pernah dimintai tolong oleh institusi pemerintah dan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk menjadi penilai dan penyeleksi naskah-naskah ilmiah sebelum diterbitkan di jurnal-jurnal penelitian yang mereka kelola atau menjadi pembimbing tamu dalam penulisan skripsi dan disertasi.
Berdasarkan pengalaman tersebut saya bisa memastikan keluhan teman saya bahwa ada masalah untuk membedakan 'di' sebagai imbuhan dan kata keterangan dan pembantukan kalimat dengan struktur s-p-o-(k) yang tepat.
Untuk masalah s-p-o-(k) misalnya, saya menemukan dua jenis kesalahan utama. Pertama, kalimat-kalimat yang tidak lengkap subyek-predikat atau obyeknya. Bahasa percakapan sehari-hari yang lumrah dikatakan tanpa struktur yang lengkap seakan terbawa dalam bahasa tulisan.
Kedua, ketidakcocokan antara subyek dan predikat, terutama yang bisa kita jumpai pada pembentukan kalimat-kalimat majemuk.
Selain kedua masalah di atas, masih banyak lagi kesalahan mendasar yang dilakukan para penulis naskah ilmiah, misalnya kesalahan pembentukan anak kalimat, pemakaian kata hubung yang tidak pada tempatnya, kalimat majemuk yang terlalu panjang dan mengandung lebih dari pokok pikiran, dan lain-lain.
Pada suatu saat, ada seorang dosen PTN yang mengeluh pada saya, "Pe, kenapa sih kamu rewel banget kalau soal bahasa? Yang penting kan konten penelitiannya..."
Wah... sorry menyori Mas bro. Ada dua alasan utama mengapa kita harus rewel soal bahasa Indonesia di penulisan ilmiah.